SANAA (SINDO)- Pendukung Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh yang bersenjata api, melepas tembakan ke arah demonstran anti pemerintah, kemarin, hingga menewaskan dua mahasiswa dan melukai 11 orang lainnya.
Kekerasan berdarah di Yaman menjadi gambaran masih memanasnya situasi di dunia Arab, termasuk Bahrain, Aljazair, Yordania, Irak, dan Lebanon. Dalam serangan di Yaman, ini merupakan korban tewas di ibu kota sejak demonstrasi menentang Saleh.
“Dua demonstran tewas dan 11 orang lainnya terluka saat pendukung rezim melepas tembakan ke depan kampus Sanaa University,” papar salah seorang saksi mata. Serangan tersebut diikuti bentrok di hari yang sama antara dua pihak.
Sebanyak 1.000 mahasiswa menghabiskan malam kedua di kamp di sebuah lapangan dekat Sanaa University. Lapangan itu disebut Al-Huriya (Kebebasan), di mana mereka menggelar sebuah tenda sangat besar.
Massa mencapai 4.000 orang pada siang hari kemarin dan mendesak Saleh untuk segera melepas jabatannya. Mereka bergerak dari lapangan tersebut menuju tempat berkumpulnya para pendukung Saleh. Kelompok pendukung Saleh itu kemudian menyerang massa anti rezim dengan pisau belati dan tongkat.
Sementara di Bahrain, demonstran bertekad tidak akan pergi dari Lapangan Mutiara (Pearl Square), pusat demonstrasi anti rezim, meski para aktivis oposisi Syiah dibebaskan. Massa terus mendesak raja untuk berunding.
Satu hari setelah massa menutup jalan-jalan utama di Manama, demonstran Syiah kembali memenuhi Lapangan Mutiara kemarin. Mereka meneriakkan, “Kami saudara, Sunni dan Syiah. Kami tidak akan meninggalkan negara ini.”
Raja Hamad bin Issa al-Khalifa kembali menyerukan oposisi untuk berdialog, saat 23 aktivis Syiah dibebaskan dari penjara setelah mendapat pengampunan kerajaan. “Kini semua orang dengan opini yang telah disuarakan, kami seru siapa pun bahwa lapangan bukan tempat yang tepat untuk dialog nasional,” ungkap Raja Hamad, seperti dikutip kantor berita BNA.
Sementara di Yordania, oposisi menegaskan rencananya menggelar demonstrasi satu “hari kemarahan” bersama sejumlah partai politik pada Jumat (25/2) untuk menuntut reformasi. Unjuk rasa itu diharapkan akan menjadi protes terbesar sejak Januari.
“Sekitar 10.000 anggota gerakan Islam serta pendukung 19 partai politik akan ambil bagian dalam pawai menyerukan reformasi,” tegas Zaki Bani Rsheid dari komite eksekutif Front Aksi Islam (IAF). “Demonstrasi juga akan digelar di wilayah-wilayah lain. Kami telah memberi waktu pada pemerintah untuk menerjemahkan rencana reformasi ini menjadi aksi, tapi kami merasa kurang ada langkah praktis.”
IAF semula membatasi partisipasinya dalam protes beberapa pekan terakhir, setelah memulai dialog dengan pemerintah dan mengikuti janji-janji Raja Abdullah II. “Selain janji-janji, kami tidak diminta menjadi bagian dialog tentang amandemen undang-undang pemilu yang menjadi landasan reformasi,” tegasnya.
Sementara di Irak, sekitar 4.000 demonstran memenuhi sebuah lapangan di kota Sulaimaniyah. Ini merupakan unjuk rasa terbaru menentang dua partai utama di wilayah Kurdi. Pemerintah berupaya meredam gejolak unjuk rasa dengan memotong gaji menteri dan anggota parlemen, menaikkan dana untuk membeli makanan bagi yang membutuhkan, dan menunda penerapan tarif import baru yang akan menaikkan harga pangan.
Tapi unjuk rasa tetap terjadi dan tiga demonstran tewas serta lebih dari 100 orang terluka sejak Kamis (17/2) di Sulaimaniyah, kota terbesar kedua di wilayah otonom Kurdistan, Irak. Unjuk rasa ini fokus mengecam korupsi dan dominasi dua partai besar.
Sedangkan kemarin, Raja Abdullah kembali ke Arab Saudi setelah dirawat di Morokko pasca operasi di Amerika Serikat (AS). Jalanan dan gedung-gedung di ibu kota Riyadh didekorasi dengan bendera nasional dan spanduk-spanduk selamat datang untuk menyambut raja berusia 86 tahun tersebut.
Halaman depan semua surat kabar Saudi, kemarin, ditulis untuk menyambut kembalinya Raja Abdullah dan mengaitkannya dengan kerusuhan yang sedang melanda dunia Arab. “Raja kini menjadi pilar satu-satunya stabilitas di kawasan saat ini. Dia menjamin perkembangan yang tertib di dunia Arab secara keseluruhan,” tulis harian berbahasa Inggris, Arab News.
Di Aljazair, kabinet pemerintahan mencabut keadaan darurat setelah muncul demonstrasi besar-besaran. Kabinet telah mengadopsi draf untuk mencabut keadaan darurat yang diadopsi pemeritnah saat gerakan gerilya muncul setelah pembatalan hasil pemilu lokal pada 1991. (AFP/Rtr/syarifudin)