NALUT (SINDO)- Tekanan terhadap Pemimpin Libya Muammar Khadafi semakin besar setelah kota-kota di wilayah barat yang menjadi basis pendukungnya, jatuh ke tangan kubu anti rezim. Komunitas internasional juga terus menyuarakan agar dia mundur.
Tripoli saat ini terkepung kota-kota sekitar yang telah dikuasai warga sipil. Seorang penggerak oposisi, Abdel Hafiz Ghoqa, menjelaskan pada kantor berita AFP di Benghazi, bahwa dewan nasional transisional telah dibentuk di kota-kota yang mereka kuasai.
“Pembentukan dewan nasional telah diumumkan di semua kota yang bebas di Libya. Dewan ini wajah Libya dalam periode transisi,” ujarnya. “Rakyat Libya akan membebaskan kota-kota mereka. Kita mengharapkan bantuan militer untuk membebaskan Tripoli.”
Mantan Menteri Kehakiman Libya Mustafa Abdel Jalil yang keluar dari kabinet Khadafi pada 21 Februari menjelaskan, pemerintahan transisional akan memimpin Libya selama tiga bulan, sebelum pemilihan umum (pemilu).
Namun dalam pernyataan melalui telepon untuk televisi Serbia, Khadafi menegaskan, “Libya tenang sepenuhnya. Tidak ada yang luar biasa. Di sini tidak ada kerusuhan.”
Tentang wilayah yang kini dikuasai oposisi, Khadafi menjelaskan, “Ada sekelompok kecil musuh-musuh yang terkepung, tapi kami akan membereskannya.”
Sebuah video yang diposting di YouTube menunjukkan salah satu putra Khadafi, Seif al-Islam, membawa senapan otomatis dan menyerukan dukungan untuk ayahnya. “Orang-orang mengatakan bahwa polisi membelot, polisi bergabung dengan penghasut. Hari ini kami saksikan polisi itu bersama Libya,” ujarnya.
Tapi beberapa wartawan dan saksi mata menjelaskan, rezim Khadafi saat ini hanya mengontrol beberapa wilayah di barat, di sekitar ibu kota Tripoli, dan beberapa kawasan di selatan.
Seorang wartawan AFP yang tiba di Nalut, kota berpenduduk 66.000 jiwa, 235 kilometer barat Tripoli, menemukan bahwa pendukung setia Khadafi telah menghilang semua. “Kota itu bebas sejak 19 Februari. Kini kota itu dikelola komite revolusioner yang ditunjuk oleh masyarakat,” kata Shaban Abu Sitta, seorang pengacara dan anggota komite revolusioner.
“Kota Rhibat, Kabaw, Jado, Rogban, Zentan, Yefren, Kekla, Gherien dan Hawamed juga telah bebas selama berhari-hari. Di semua kota tersebut, pasukan Khadafi telah pergi dan komite revolusioner berkuasa,” kata Abu Sitta.
Seorang saksi mata menjelaskan, pemberontak berhasil menembak jatuh sebuah pesawat militer Libya, kemarin, saat tentara rezim berupaya merebut kembali kota terbesar ketiga, Misrata, 200 kilometer timur Tripoli. “Sebuah pesawat ditembak jatuh pagi ini saat pesawat itu menembaki stasiun radio lokal. Demonstran kemudian menangkap awak pesawat,” kata Mohamed, saksi mata.
“Pertempuran untuk menguasai pangkalan udara militer terjadi sejak malam lalu dan masih berlangsung saat ini. Pasukan Khadafi hanya mengontrol sebagian kecil pangkalan tersebut. Demonstran mengontrol sebagian besar pangkalan tempat disimpannya amunisi,” papar Mohamed.
Musuh rezim juga mengontrol kota Az-Zawiyah, 50 kilometer barat Tripoli. Tampak ribuan orang turun ke jalan untuk mengecam rezim Libya di hadapan para wartawan yang diundang meliput. Wartawan disambut ribuan demonstran yang meneriakkan, “Turunkan rezim, kami ingin merdeka.” Beberapa orang bersenjata dan menembak ke udara.
Pertempuran memperebutkan kota Az-Zawiyah terjadi pada Kamis (24/2) silam dan menewaskan lebih dari 35 orang. Tidak tampak lagi aparat keamanan Libya di kota tersebut saat ini.
Amerika Serikat (AS) secara terbuka menyatakan siap membantu musuh-musuh Khadafi yang membentuk dewan nasional transisi di beberapa kota di wilayah timur dan barat yang mereka kuasai. Washington menyeru tentara untuk membantu lawan-lawan Khadafi menguasai Tripoli.
Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton mengulangi seruan para pemimpin dunia, termasuk Presiden AS Barack Obama dan Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron agar Khadafi mundur. “Kita baru mengawali apa yang akan dilakukan Khadafi. Pertama, kita ingin melihat berakhirnya rezimnya dan tanpa pertumpahan darah lagi. Kami ingin dia pergi,” katanya.
Di Mesir, Senator AS John McCain dan Joe Lieberman mendesak pemerintah Amerika mengakui pemerintahan transisional di Libya dan menyediakan persenjataan serta bantuan kemanusiaan untuk menggulingkan Khadafi.
Kerusuhan di Libya dalam dua pekan terakhir menewaskan sedikitnya 1.000 orang dan menciptakan darurat kemanusiaan. Lebih dari 100.000 pekerja migran melarikan diri dari negara di Afrika Utara tersebut.
Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang bertemu di Jenewa untuk membahas krisis Libya, juga semakin waspada dengan situasi kemanusiaan di negara produsen minyak itu. “Dewan tidak melonggarkan kewaspadaan atas Libya seiring ancaman kekerasan terhadap warga sipil yang terus membayangi,” papar komisioner tinggi HAM PBB Navi Pillay.
Krisis Libya mendongkrak harga minyak menjadi USD113,98 per barrel pada perdagangan Asia, kemarin.
Sementara itu, pemerintah Inggris mencabut kekebalan diplomatik Khadafi dan anggota keluarganya. Keputusan itu diungkapkan Menlu Inggris William Hague setelah Dewan Keamanan PBB menerapkan larangan perjalanan dan pembekuan aset terhadap rezim Khadafi.
“Kami memiliki satu negara yang terjatuh dalam perang sipil, dengan pembunuhan terhadap para demonstran dan pemerintah yang menciptakan perang di negaranya sendiri. Karena itu inilah waktunya bagi Kolonel Khadafi untuk pergi. Itu harapan terbaik untuk Libya,” kata Hague.
Menurut Hague, dia telah menandatangani pencabutan kekebalan diplomatik yang dimiliki Khadafi, putra-putranya, keluarganya, dan rumah tangganya, di Inggris. “Karena itu sudah sangat jelas di mana kami bersikap tentang statusnya sebagai kepala negara,” katanya.
Putra Khadafi, Seif al-Islam, memiliki kaitan erat dengan Inggris setelah lulus dari London School of Economics pada 2003 dan meraih gelar PhD lima tahun kemudian.
Sementara itu, proses evakuasi terus dilakukan oleh berbagai negara. China kemarin menyatakan telah mengevakuasi 29.000 warganegaranya dari Libya. “Sekitar 2.500 warga China telah kembali ke dalam negeri dan 23.000 lebih telah dikirim ke Yunani, Malta, Tunisia, Sudan, dan Uni Emirat Arab, tempat mereka menunggu penerbangan ke China,” papar kementerian luar negeri China.
Sebanyak 3.400 warga China telah meninggalkan Libya dengan kapal dan menuju ke beberapa negara sahabat. China mengerahkan evakuasi udara, laut, dan darat, untuk mengeluarkan lebih dari 30.000 warganya dari Libya. “Kekuatan nasional yang tumbuh di China mendukung operasi massif semacam itu di luar negeri,” tulis harian China Daily. (syarifudin)