OFUNATO- Pemerintah Jepang akan membuang lebih dari 10.000 ton air mengandung radioaktif level rendah ke Samudera Pasifik. Langkah ini bagian dari operasi darurat untuk menstabilkan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi.
Jepang sudah empat pekan terakhir mencegah reaktor nuklir meleleh di PLTN itu dan mengguyurkan ribuan ton air ke batang bahan bakar nuklir yang terlalu panas (overheating). Untuk mengosongkan ruang penyimpanan untuk pengurangan radioaktif, menurut operator PLTN, Tokyo Electric Power Company (TEPCO), harus ada air mengandung radioaktif rendah yang dikeluarkan.
“Pembuangan air radioaktif itu tidak akan menganggu kehidupan laut atau keamanan makanan laut,” ujar juru bicara TEPCO, seperti dikutip kantor berita AFP. “Jika seseorang makan makanan laut dari air laut yang terkena radioaktif setiap hari selama satu tahun, mereka akan menyerap sekitar 0,6 millisievert radioaktif, atau sekitar seperempat dari setahun radiasi normal dari lingkungan.”
Juru bicara Perdana Menteri (PM) Jepang Naoto Kan, Yukio Edano menjelaskan hal senada. “Kami tidak memiliki pilihan lain, kecuali membuang air yang tercemar bahan radioaktif ke lautan sebagai langkah aman,” paparnya.
Mesin pemadam kebarakan dan pompa-pompa berukuran besar, telah memasukkan air ke batang bahan bakar nuklir sejak gempa bumi dan tsunami merusak sistem pendingin. Bencana alam itu pun membuat sebagian reaktor meleleh di PLTN yang berisi enam reaktor nuklir.
“Sebagai hasil dari operasi pengguyuran air, air mengandung radioaktif tinggi telah terkumpul di gedung-gedung turbin di Fukushima Daiichi, khususnya di reaktor unit dua,” kata pejabat TEPCO.
TEPCO menambahkan, “Perlu pembuangan air yang tersimpan untuk mendapat air sebanyak 10.000 ton, sebanyak 1.500 ton air dari ruangan di bawah unit-unit reaktor lima dan enam.”
“Pembuangan air itu sebanyak lebih dari empat lapangan sepakbola standar Olimpiade, yang akan dilakukan persiapan sesegera mungkin,” papar juru bicara TEPCO.
Kontaminasi radioaktif dari PLTN itu telah ditemukan di udara, tanah, air laut, dan dalam kadar rendah di produk kawasan itu, termasuk sayur mayur, produk susu, daging sapi, dan yang terbaru, jamur shiitake.
Darurat nuklir ini juga berdampak buruk bagi ekonomi dan mengakibarkan penurunan pasar finansial Jepang. Gempa bumi dan tsunami Jepang menewaskan 12.020 orang dan 15.512 orang hilang.
Bank sentral Jepang (Bank of Japan) menjelaskan, kepercayaan dunia usaha merosot sejak gempa bumi dan tsunami pada 11 Maret, membuat negara itu mengalami krisis terburuk sejak Perang Dunia II.
Terjadinya krisis nuklir di Jepang mengakibatkan banyak negara mengkaji ulang strategi energinya. Padahal sebelum krisis, banyak negara tertarik menjadikan nuklir sebagai sumber energi alternatif yang rendah karbon.
“Saya pikir akan ada banyak pertimbangan politik. Tentu saja, ini sesuatu yang memiliki dampak terhadap negosiasi iklim,” kata kepala negosiator Uni Eropa Artur Runge-Metzger, seperti dirilis kantor berita Reuters.
Di Vienna, kepala Badan Energi Atom Internasional (IAEA) Yukiya Amano menegaskan, “Krisis di Fukushima Daiichi memiliki implikasi besar bagi energi nuklir dan menghadapkan kita semua pada satu tantangan besar,” ujarnya dalam pidato pembukaan konferensi tentang keamanan nuklir.
Jepang juga menyatakan kemungkinan membahas lagi target iklim untuk memotong emisi hingga 25% pada 2020 dari level 1990, jika negara polutan besar lainnya melakukan langkah yang sama. “Tidak hanya target pengurangan 25%, tapi juga banyak tantangan lain yang Jepang hadapi saat ini, harus dibahas dalam satu poin, karena banyak hal yang terkena dampak bencana gempa bumi,” papar Edano.
Harian Yomiuri Shimbun menulis, Menteri Lingkungan Jepang Hideki Minamikawa menjelaskan bahwa target pengurangan akan mempengaruhi satu kesepakatan besar. “Karena target pengurangan karbon itu berdasarkan rencana membangun reaktor-reaktor baru dan memperbaiki reaktor lama, target tahunan dan persentase pengurangan akan dikaji,” ujarnya saat berada di Bangkok, Thailand.
Jepang yang miskin sumber daya alam itu memenuhi sepertiga kebutuhan energinya dari nuklir dan tergantung dengan minyak dari Timur Tengah. Sedangkan perusahaan-perusahaan di Jepang merupakan pemimpin dalam efisiensi energi dan teknologi hijau. (syarifudin)