SANAA- Pemerintah Yaman sedang mempelajari usulan negara-negara Teluk Arab untuk mengakhiri krisis politik di negara itu. Menteri Luar Negeri (menlu) Yaman Abu Bakr al-Kurbi menyatakan hal tersebut kemarin.
Demonstran Yaman tetap mendesak Presiden Ali Abdullah Saleh untuk mengundurkan diri setelah 125 orang tewas sejak unjuk rasa terjadi pada Januari silam. Saleh tetap menolak desakan tersebut.
“Inisiatif para menlu Dewan Kerjasama Teluk (GCC) sedang dipelajari oleh pemimpin politik negeri kami. Setiap inisiatif yang bertujuan mencari solusi bagi krisis dan sesuai dengan konstitusi Republik Yaman, akan disambut,” papar Abu Bakr, seperti dilaporkan kantor berita AFP.
Enam negara anggota GCC yang mengkhawatirkan berlanjutnya kerusuhan di Yaman, menawarkan untuk menjadi mediator antara pemerintah dan oposisi. Perdana Menteri (PM) Qatar Sheikh Hamad bin Jassem al-Thani menjelaskna, GCC berharap dapat mencapai kesepakatan dengan presiden Yaman agar mundur.
Rencana keluar itu ditawarkan pada Saleh agar menyerahkan kekuasaan pada wakilnya. Dalam tawaran itu juga ada jaminan keamanan bagi Saleh dan keluarganya.
Sementara itu, NATO menolak menyebut krisis di Yaman mengalami jalan buntu. Mereka menganggap pertempuran antara pemberontak dan pasukan Pemimpin Libya Muammar Khadafi terus mengalami kemajuan di pihak oposisi.
Deputi komandan operasi NATO di Libya, Admiral Russell Harding dari Inggris, menjelakan, pasukan Khadafi mengalami naik turun antara Brega dan Ajdabiya dalam 48 jam terakhir. “Jika seseorang ingin menyebut itu jalan itu, tidak masalah. Saya menganggapnya itu ya, ini berubah-ubah, tapi perubahan itu relatif dalam wilayah kecil,” ujarnya dalam videokonferensi dari kantor pusatnya di Naples, Italia.
NATO menolak meminta maaf atas serangan udaranya yang menghancurkan tank-tank dan menewaskan pemberontak Libya. NATO berdalih tidak tahu jika oposisi menggunakan kendaraan tempur semacam itu.
“Saya tidak meminta maaf. Situasi di lapangan, seperti saya katakan, sangat berubah-ubah dan tetap ekstrim perubahannya. Bahkan hingga kemarin, kami tidak memiliki informasi bahwa pasukan oposisi menggunakan tank-tank,” ungkap Harding.
Harding berbicara sehari setelah Jenderal Carter Ham dari Amerika Serikat (AS) yang memimpin serangan pertama kampanye udara koalisi di Libya, mengatakan pada Senat AS bahwa konflik itu tampaknya memasuki jalan buntu dan pemberontak tampaknya tidak dapat menggulingkan Khadafi.
Juru bicara (jubir) NATO Oana Lungescu menegaskan, solusi politik sangat penting untuk menyelesaikan krisis di Libya, tidak hanya melalui kekuatan militer. “Kami selalu menjelaskan bahwa di sana tidak ada solusi yang murni politik untuk konflik ini,” tuturnya.
“Itula mengapa sangat penting untuk menemukan solusi politik dan saya akan katakan, di sana tidak ada jalan buntu, hanya kontras, saya pikir di sana komunitas internasional harus segera menemukan solusi politik,” papar Lungescu.
Saat ini tim Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dibentuk untuk menyelidiki kekerasan di Libya. Tim itu akan meninggalkan Jenewa pada Minggu (10/4) untuk menjalankan misi lapangan.
“Perjalanan itu kami rahasiakan demi alasan keamanan. Karena itu kami tidak mengatakan dengan pasti kapan kami pergi, kapan kami tiba, dan di mana kami berhenti. Tapi kami meninggalkan Jenewa pada Minggu (10/4), dan kami harap dapat kembali pada akhir bulan ini,” ujar kepala tim Cherif Bassiouni, kemarin.
Bassiouni membenarkan bahwa tim itu menuju Libya. “Kami akan berada di bagian timur dan barat Libya, serta Mesir dan Tunisia. Semua sumber informasi sedang kami akses, semua informasi akan kami sambut, dari sumber mana pun,” kata Bassiouni, mantan investigator kejahatan perang PBB.
Saat ditanya apakah pemerintah Libya secara resmi mengijinkan kunjungan tim PBB, Bassiouni menjelaskan, tim itu tidak mendapatkan respon langsung, tapi tdak langsung, melalui pernyataan pers bahwa pemerintah Libya siap menerima misi sejak 15 April.
Sementara itu, pemerintah Suriah memberikan kewarganegaraan pada puluhan ribu etnis Kurdi, di hari yang sama ketika komite hukum menyelesaikan draf undang-undang untuk menggantikan undang-undang darurat yang berlaku hampir lima dekade.
“Presiden Bashar al-Assad memberikan kewarganegaraan pada etnis Kurdi, yang mayoritas tinggal di wilayah timur laut dan hampir setengah abad ditolak kewarganegaraannya,” papar kantor berita Suriah, SANA. Pemberian kewarganegaraan itu sebagai salah satu upaya pemerintah meredam gejolak unjuk rasa anti pemerintah. (syarifudin)