Pages

Labels

Kadhafi Tetap di Libya, Rezim Menyangkal Membantai Demonstran

Kadhafi Tetap di Libya
Rezim Menyangkal Membantai Demonstran

TRIPOLI (SINDO)- Pemimpin Libya Moamer Kadhafi kemarin malam muncul di televisi untuk menepis rumor bahwa dia meninggalkan negaranya akibat gelombang unjuk rasa.

Kadhafi, 68, tetap mempertahankan empat dekade pemerintahannya, meski terjadi pembelotan di kalangan militer dan diplomat. Rezim di Afrika Utara itu pun menyangkal tuduhan membantai demonstran, meski sejumlah laporan menyatakan korban tewas berkisar 300 dan 400 orang.

“Saya segera bertemu dengan pemuda di Green Square (Lapangan Hijau) di pusat kota Tripoli,” ujar Kadhafi dalam tayangan langsung di televisi dari luar rumahnya, selama 22 detik.

Saat berbicara, Kadhafi berdiri di bawah payung berwarna perak, sambil melangkah menuju sebuah mobil. “Ini hanya untuk membuktikan bahwa saya di Tripoli dan tidak di Venezuela dan untuk menyangkal berbagai laporan televisi, anjing-anjing itu,” tegasnya.

Pemerintah Libya hingga kini tidak pernah mengonfirmasi jumlah korban tewas atau terluka selama kerusuhan. Human Rights Watch (HRW) menyatakan 233 orang tewas dalam unjuk rasa. Sedangkan International Federation for Human Rights (IFHR) menyatakan korban tewas antara 300 dan 400 jiwa.

Muncul laporan dari para saksi mata bahwa angkatan udara (AU) menembaki demonstran. Tapi jaringan televisi pemerintah Libya, Al-Jamahiriya Two, menyangkal semua tuduhan tersebut. “Mereka mengatakan terjadi pembantaian di beberapa kota di Libya. Kita harus melawan semua rumor dan kebohongan yang menjadi bagian dari perang psikologis,” tulis teks berwarna merah di bawah layar televisi. “Informasi ini bertujuan merusak moral kalian, stabilitas kalian dan kekayaan kalian.”

Meski Kadhafi tetap bertahan, muncul sejumlah pembelotan dari para pendukungnya, termasuk pilot-pilot jet tempur yang terbang ke Malta dan mengaku menolak mengikuti perintah untuk menembaki demonstran.

Libya yang terletak di antara Mesir dan Tunisia, tampaknya turut terkena dampak revolusi yang berhasil menggulingkan dua pemimpin negara tetangganya. Pemerintah Libya tampak sangat khawatir jika gelombang revolusi itu berhasil menjatuhkan Kadhafi.

Kerusuhan di Libya kini meluas hingga ibu kota sejak pekan ini, setelah pekan lalu muncul di wilayah timur. Demonstran hingga saat ini telah menyerang sejumlah kantor politik, kantor-kantor penyiaran pemerintah, dan membakar gedung-gedung pemerintahan.

Penduduk di dua distrik di Tripoli menyatakan melalui telepon, telah terjadi pembantaian saat pria bersenjata menembak secara brutal di distrik Tajura. Saksi mata lain di Fashlum mengatakan, beberapa helikopter menurunkan tentara bayaran keturunan Afrika yang menembak siapa pun di jalanan dan menewaskan banyak orang.

Seorang ekspatriat Amerika Latin yang tinggal di Gargaresh, Tripoli, melaporkan massa membakar ban dan sebuah truk dan mobil. “Kami melintasi satu barikade pria bersenjata Kalashnikovs. Saya sangat takut, mereka telah menahan pasangan Afrika,” katanya.

Para ekspatriat kini bersembunyi bersama keluarga mereka, menunggu evakuasi keluar dari Libya. “Foto-foto Kadhafi dirusak di Gargaresh, yang sebelumnya penuh dengan para pendukungnya,” kata ekspatriat itu.

Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) segera menggelar pertemuan pada Selasa (22/2) untuk membahas kebrutalan rezim Libya dalam meredam unjuk rasa. Pertemuan darurat itu digelar setelah muncul laporan pengerahan pesawat tempur dan helikopter untuk menyerang warga sipil.

Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon menyatakan, dia telah berbicara 40 menit dengan Kadhafi agar pemimpin Libya itu menahan diri dalam menghadapi demonstran. “Saya tegaskan padanya bahwa HAM dan kebebasan berkumpul serta berbicara harus dilindungi sepenuhnya,” ujarnya. “Saya tekankan padanya untuk menghentikan kekerasan terhadap demonstran dan saya garisbawahi pentingnya menghormati hak asasi pada demonstran.”

Pertemuan itu diminta digelar oleh deputi Dubes Libya di PBB Ibrahim Dabbashi serta beberapa diplomat senior yang membelot dari Kadhafi.

Komisi HAM PBB Navi Pillay juga memperingatkan, serangan sistemik dan luas terhadap populasi sipil bisa dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan. “Serangan terhadap warga sipil, jika benar, akan menjadi pelanggaran serius hukum kemanusiaan internasional dan akan dikecam sekretaris jenderal dengan keras,” juru bicara komisi HAM PBB Martin Nesirky.

Berbagai negara kini sibuk mengevakuasi warganya. Sebanyak 10.000 warga Mesir kini sedang menunggu untuk melintasi perbatasan dari Libya. Dua pesawat militer Mesir sudah tiba di Tripoli, kemarin, untuk membantu mengevakuasi warganegaranya. “Militer sudah emngirim unit tambahan untuk memastikan keamanan di sepanjang perbatasan utara dengan Libya, di pintu perbatasan Soloum, dan mengijinkan warga Mesir meninggalkan Libya dengan aman,” papar sumber keamanan Mesir.

Pemerintah China juga menyiapkan evakuasi warganya. “Lebih dari 1.000 pekerja konstruksi China berada di Libya dan terpaksa melarikan diri setelah perampok bersenjata menyerbu kompleks mereka, mencuri komputer dan barang-barang lain,” ungkap media di Beijing.

Sebuah pesawat militer Portugal mengevakuasi 114 warganya pada tengah malam, dari Libya menuju sebuah pangkalan NATO di Italia.

Sedangkan Yunani kemarin mempersiapkan mengevakuasi warganya dari Libya. “Yunani meminta ijin untuk masuk bandara di Benghazi, Tripoli, Sebha dan Sirte, serta mengevakuasi warga Yunani di sana,” papar deputi menlu Yunani Dimitris Dollis.

Menteri Luar Negeri Bangladesh Mijarul Quayes kemarin menyatakan, Duta Besar (dubes) Libya di Dhaka telah mundur. “Kami menerima kabar dari Kedutaan Besar (kedubes) Libya bahwa Dubes Ahmed A.H. Elimam telah mengundurkan diri,” ujarnya.

Elimam tidak merespon telepon dari AFP, kemarin. Sedangkan staf Kedubes Libya di Bangladesh menyatakan tidak tahu di mana dia berada.

Pemerintah Bangladesh sangat khawatir dengan keamanan 50.000 warganya yang bekerja di Libya. Media Bangladesh melaporkan, sebanyak 100 warganegaranya disandera, kemungkinan oleh demonstran anti pemerintah Libya di kota Darnah, timur Benghazi sejak Jumat (18/2).

“Sebanyak 30 hingga 40 pria bersenajta menyandera 300 pekerja konstruksi asing yang bekerja untuk perusahaan Korea Selatan. Penyanderaan dilakukan di masjid, 20 kilometer dari tempat mereka ditangkap,” papar Shafiuddin Bishwas, seorang sandera.

Sementara itu Dubes Libya untuk Amerika Serikat (AS) Ali Aujali juga menyatakan dia tidak lagi mewakili rezim diktator negaranya dan mendesak Kadhafi mundur. “Saya mundur dari melayani rezim kediktatoran saat ini. Tapi saya tidak akan pernah mundur dari melayani rakyat kami hingga suara mereka mencapai penjuru dunia, hingga tujuan mereka tercapai,” tegasnya. “Saya serukan padanya untuk pergi dan meninggalkan rakyat kami sendiri.”

Perdana Menteri (PM) Turki Recep Tayyip Erdogan kemarin memperingatkan pemerintah Libya agar tidak membuat kesalahan dengan mengabaikan permintaan rakyat untuk demokrasi dan kebebasan.

“Satu hal yang tidak boleh salah ialah memejamkan mata terhadap desakan rakyat untuk demokrasi dan kebebasan. Pemerintah Libya tidak perlu melakukan kesalahan itu,” tegas Erdogan dalam pidato di parlemen. “Intervensi kejam terhadap pihak yang menyuarakan demokrasi akan meningkatkan lingkaran kekerasan. Menyebarnya kekerasan ke penjuru Libya sangat berbahaya.”

Organisasi Konferensi Islam (OKI) kemarin juga mengecam penggunaan kekuatan berlebihan oleh otoritas Libya dalam menghadapi pengunjuk rasa. “Sekretaris Jenderal OKI Ekmeleddin Ihsanoglu menyatakan kecaman keras atas penggunaan kekuatan berlebih terhadap warga sipil di Libya,” papar pernyataan yang dikeluarkan organisasi Islam terbesar di dunia tersebut. “OKI mengecam bencana kemanusiaan yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam dan kemanusiaan.”

Kerusuhan di Libya yang merupakan produsen minyak terbesar keempat di Afrika, membuat harga minyak melambung tinggi. Pada perdagangan pagi, minyak mentah Brent North Sea untuk pengiriman April melonjak hingga USD108,57 per barrel, mencapai level tertinggi sejak September 2008. (AFP/Rtr/syarifudin)