Pages

Labels

Tujuh Tewas di Hari Kemarahan Irak

BAGHDAD (SINDO)- Ribuan demonstran turun ke jalanan Irak, kemarin, untuk menggelar “Hari Kemarahan”. Massa membanjiri Lapangan Tahrir, Baghdad, dan kota-kota lain, hingga terjadi bentrok melawan polisi di Mosul dan Hawija hingga menewaskan tujuh pengunjuk rasa.

Pengunjuk rasa di ibu kota terpaksa berjalan kaki menuju lokasi demonstrasi karena pasukan keamanan melarang penggunaan kendaraan. Sehari sebelumnya, Perdana Menteri (PM) Irak Nuri al-Maliki menuduh demonstrasi ini digerakkan pejuang Al-Qaeda dan pendukung setia mantan Pemimpin Irak Saddam Hussein.

Tentara dan polisi dikerahkan di Lapangan Tahrir, tempat 5.000 demonstran berkumpul. Aparat keamanan juga memasang barikade dinding beton untuk menghalangi jalan masuk menuju jembatan Jumhuriyah, yang menghubungkan lokasi demonstrasi ke Zona Hijau yang dijaga ketat di Baghdad.

Namun dinding penghalang itu tidak menyurutkan demonstran untuk melewatinya. Beberapa orang berusaha melompatinya, tapi barikade polisi anti huru hara dalam beberapa baris sudah terbentuk di belakangnya untuk menghalangi aksi penerobos.

Meski sebagian besar demonstrasi berjalan damai, bentrok antara pengunjuk rasa adn aparat keamanan tetap tak terelakkan di kota Mosul dan Hawija hingga tujuh orang tewas dan puluhan orang lainnya terluka.

Seorang anggota parlemen Irak Sabah al-Saadi berupaya bertemu kelompok demonstran, tapi dia justru disambut dengan cercaan. Seorang pengunjuk rasa mempertanyakan, “Mengapa anggota parlemen mengambil uang jutaan dinar untuk gajinya? Anda telah memotong gaji Anda, kami tidak punya apa pun! Mengapa Anda mengambil uang sebanyak itu saat kami tidak punya uang?”

Unjuk rasa yang digelar di Irak kemarin, seperti di negara-negara lain, diserukan melalui grup-grup di jejaring sosial Facebook, seperti grup "Iraqi Revolution of Rage" dan "Change, Liberty and a Real Democracy."

Sebagian besar pengunjuk rasa di Lapangan Tahrir, yang memiliki nama seperti di pusat Kairo, merupakan pemuda yang beberapa orang mengenakan plakat bertulis, “Tidak diam, kita harus bicara”. “Kami tidak ingin mengubah pemerintah, karena kami telah memilih mereka, tapi kami ingin mereka bekerja!” ujar Darghan Adnan, 24, mahasiswa yang berada di Lapangan Tahrir. “Kami ingin mereka menegakkan keadilan, kami ingin mereka memperbaiki jalanan, kami ingin mereka memperbaiki aliran listrik, kami ingin mereka memperbaiki penyediaan air.”

Demonstran yang terus membludak di pinggiran sungai Tigris, terpaksa berjalan kaki karena aparat melarang kendaraan di Baghdad dan beberapa kota lain di Irak. “Kami berjalan kaki dari Sadr City (timur Bahgdad) selama dua jam, tapi saya memutuskan datang karena saya ingin pemerintah mengubah situasi,” kata Shashef Shenshun, 48, yang belum dapat pekerjaan. Dia menunjukkan dompetnya yang hanya berisi 2 dinar Irak atau kurang dari USD2. “Anda pikir saya dapat hidup dengan uang ini? saya pengangguran. Saya ingin bekerja, saya ingin anak saya bersekolah,” keluhnya.

Sementara di Bahrain, demonstran juga menggelar unjuk rasa untuk mengenang tujuh rekan mereka yang tewas saat polisi menyerbu Lapangan Mutiara (Pearl Square) dan mengusir demonstran dari tenda-tenda tempat bermalam. Saat ini unjuk rasa sudah memasuki hari ke-12.

Demonstran saat ini kembali menduduki lapangan tersebut. Sebagian pengunjuk rasa dari kalangan Syiah mendesak diakhirinya dinasti Sunni Al-Khalifa yang tela hberkuasa selama dua abad. “Tidak seorang pun takut dengan tank-tank dan persenjataan. Mereka (demonstran) akan membuka dada mereka untuk menghadapinya,” kata Ibrahim Ali, 42, seorang insinyur mesin yang ikut berunjuk rasa. Seperti demonstran lainnya, Ali sudah tinggal berhari-hari di lapangan Mutiara, sejak revolusi dimulai pada 14 Februari.

Sedangkan di Washington, Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama memuji langkah Presiden Aljazair Abdelaziz Bouteflika yang mencabut keadaan darurat yang telah berlaku selama 19 tahun. Obama menyebut keputusan itu isyarat positif pemerintah untuk merespon keinginan rakyat.

“Ini tanda positif bahwa pemerintah Aljazair mendengarkan masalah itu dan merespon permintaan rakyatnya, dan kami menunggu langkah-langkah lainnya oleh pemerintah sehingga rakyat Aljazair dapat sepenuhnya mendapatkan hak universal mereka, termasuk kebebasan berekspresi, berserikat, dan berkumpul,” papar Obama. (AFP/Rtr/syarifudin)