Pages

Labels

Libya Tuduh Barat Memecah Belah

TRIPOLI- Pemerintah Libya kemarin, menuduh Barat berkonspirasi memecah belah Libya. Bersamaan itu, Washington yang ditekan untuk membantu pasukan oposisi menyatakan, terlalu dini untuk mempersenjatai pemberontak.

Di Tripoli, Menteri Luar Negeri (menlu) Libya Mussa Kussa menegaskan, Barat berupaya memecah belah negaranya dengan secara rahasia membangun kontak-kontak dengan pemimpin pemberontak.

“Jelas bahwa Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat (AS) berhubungan dekat dengan para pembelot di Libya timur. Ini berarti di sana ada konspirasi untuk memecah Libya,” tegas Kussa.

Komentarnya muncul setelah Menlu Inggris William Hague mengakui terjadi kesalahpahaman serius yang mengarah ke penggunaan satu tim pasukan khusus untuk sebuah misi ceroboh mengontak para pemberontak Libya.

Sedangkan AS, menghadapi tekanan di dalam negeri dan luar negeri untuk bertindak lebih banyak demi melindungi warga sipil dan menggulingkan Pemimpin Libya Muammar Khadari dari kekuasaan. Washington tampak khawatir untuk mengirimkan persenjataan ke sebuah konflik yang melibatkan banyak kelompok.

Gedung Putih menyatakan, pihaknya sedang mempertimbangkan mempersenjatai pemberontak. Tapi mereka menegaskan, langkah tersebut bisa terlalu dini. Menteri Pertahanan AS Robert Gates juga memperingatkan, intervensi semacam itu memerlukan persetujuan internasional.

“Akan terlalu dini untuk mengirim persenjataan ke sebuah kotak kantor pos di Libya timur. Kita tidak perlu menyerahkannya terlebih dulu,” ujar juru bicara Gedung Putih Jay Carney.

Sementara itu, pertempuran terbaru pecah di kota Zawiyah, 60 kilometer barat ibu kota Tripoli yang masih dikuasai Khadafi. Pemberontak mulai kembali dari pelabuhan minyak Ras Lanuf, saat jet-jet tempur dikerahkan pemerintah untuk menyerang kota tersebut. “Serangan udara melukai seorang ayah dan seorang anaknya, saat jet membom mobil mereka di jalan luar kota,” ujar paramedis dan wartawan AFP.

Salim Hussein Attia, 47, manajer di pabrik minyak Ras Lanuf menjelaskan, dia membawa keluarganya ke timur untuk berlindung bersama kerabatnya, setelah pasukan pemerintah menguasai Bin Jawad. “Kami mengemudi meninggalkan stasiun pengisian bahan bakar saat tiba-tiba kami terkena sebuah ledakan besar. Syukur Tuhan, keluarga saya baik-baik saya. Putra saya Ahmed hanya mendapat sedikit jahitan,” paparnya.

Dewan Nasional Libya yang dibentuk pemberontak sebagai pemerintah bayangan menegaskan, mereka telah menerima kontak dari perwakilan Khadafi untuk menegosiasikan proses mundurnya Khadafi. “Kami menolak ini. Kami tidak bernegosiasi dengan seseorang yang menumpahkan darah rakayt Libya dan terus melakukannya. Mengapa kami harus percaya pada pria itu sekarang?” ujar juru bicara Dewan Nasional Libya Mustafa Gheriani.

Sedangkan televisi Al Jazeera melaporkan, pemerintah Libya menolak berunding dengan pemberontak. Putra Khadafi, Saadi, mengatakan, jika ayahnya melepas kendali sepenuhnya pasukan militer, ini dapat membawa Libya menuju perang sipil karena perpecahan suku dan pada saat ini militer terbatasi untuk menjaga lokasi-lokasi sensitif dan melawan ancaman asing.

“Suku-suku semuanya bersenjata, pasukan militer Libya dan wilayah timur bersenjata. Situasi ini tidak seperti Tunisia atau Mesir. Situasinya sangat berbahaya,” ujar Saadi yang pernah menjadi atlet sepak bola profesional di Italia sebelum beralih ke bisnis.

Sementara itu, Inggris dan Prancis siap meberlakukan zona larangan terbang di Libya. Mereka merupakan pengusung ide ini sejak awal, sebelum Dewan Keamanan PBB voting untuk memutuskannya, paling cepat pekan ini.

Untuk mengantisipasi adanya pihak yang menentang ide itu, Kementerian Luar Negeri Inggris menegaskan perlunya landasan hukum yang jelas untuk zona larangan terbang dan penetapan berbagai syarat lainnya. “Anda harus memperkirakan sesuatu di Libya pekan ini,” ujar seorang diplomat PBB. “Ada kondisi penting saat ini.”

“Ada beberapa elemen draf yang dapat didistribusikan ke depan. Ini akan sempurna pekan ini,” ujar seorang diplomat Inggris.

Sementara itu, Jepang menyetujui sanksi terhadap Libya, termasuk pembekuan aset dan larangan perjalanan terhadap beberapa petinggi rezim. Langkah ini sesuai dengan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang disahkan bulan lalu.

Kabinet Perdana Menteri (PM) Jepang Naoto Kan menyetujui pembekuan semua aset yang dimiliki Khadafi dan lima orang lainnya di Jepang. Selain itu, mereka dan 10 petinggi Libya lainnya, dilarang masuk dan meninggalkan Jepang.

“Sanksi yang disahkan Jepang secara teknis termasuk larangan import persenjataan dari Libya. Langkah ini sejalan dengan resolusi PBB,” ujar seorang pejabat Kementerian Luar Negeri Jepang. (syarifudin)