Pages

Labels

Makanan Halal di China

Salah satu pertanyaan yang paling kerap diajukan pemeluk Islam yang hendak bepergian ke Cina barangkali adalah, “Di sana makannya susah nggak sih?”  Terbayang dalam benak berbagai hidangan Cina yang menggunakan daging atau lemak babi sebagai bahannya.  Ada pula yang mengkhawatirkan  daging hewan lain yang disembelih tidak dengan menyebut nama Allah.  Lalu, oleh-oleh makanan apa yang aman untuk dibawa pulang dari Cina, untuk dibagikan kepada teman-teman dan handai-taulan?

Agama Islam telah cukup lama menjadi bagian dari kehidupan bangsa Cina.  Beberapa suku minoritas, misalnya Uighur, hingga kini memeluk Islam.  Di Beijing ada satu kawasan – Niujie, dengan niu berarti kerbau – yang merupakan pusat warga Beijing yang beragama Islam.  Letaknya juga tidak jauh-jauh amat dari pusat kota tua.  Bila naik metro, bisa turun di Caishikou, Taoranting, dan Changchunjie, lalu berjalan kaki.  Agak jauh sih, tapi anggap saja sekalian melihat-lihat kiri dan kanan.

Barangkali kalau Anda sangat berhati-hati soal makanan, carilah tempat menginap di kawasan ini, karena mudah sekali menemukan kedai dan restoran hidangan halal.  Meskipun demikian, jangan kaget bila tempat-tempat ini juga menjual bir, minuman. yang banyak dikonsumsi warga Cina non-Muslim.

Banyak kedai ini yang berkumpul menjadi satu di foodcourt di atas supermarket Muslim Niujie, yang terletak di jalan di seberang Masjid Niujie yang bersejarah.  Sebelum memilih-milih makanan, dapatkan kartu magnetik yang bisa Anda isi dengan sejumlah uang (misalnya 50 CNY).  Nanti tinggal berikan kartu ini pada penjaga kios, dan harga makanan-minuman yang Anda pilih akan didebit dari nilai yang tersimpan dalam kartu.  Harga di foodcourt ini cukup murah (sepiring mi dingin yang porsinya seabrek-abrek dihargai 6 CNY), namun ini pun menurut teman saya sebenarnya sudah cukup mahal.

Secara umum, memang makanan Muslim selalu lebih mahal daripada makanan Cina biasa yang dijual di kedai-kedai tepi jalan.  Cara mengenali kedai penjual makanan Muslim adalah biasanya papan nama tokonya berwarna hijau dengan tulisan Cina dan Arab berwarna putih.  Ciri lain adalah bangunan restoran yang dilengkapi kubah-kubah menyerupai masjid.  Mengenai ini, teman baru saya dari Afganistan punya sedikit protes.  “Di sini kok restoran mirip masjid, masjidnya mirip kelenteng.”

Saya jadi terkikik geli mendengarnya.  Memang, Masjid Niujie tidak terlihat mirip masjid seperti yang biasa dikenal di bagian-bagian lain dunia seperti Arab atau Indonesia.  Bangunannya khas bergaya Cina, dengan minaret yang tidak terlampau tinggi.  Bangunan salat untuk laki-laki terpisah dari perempuan.  Di dalam kompleks masjid juga terdapat makam 2 imam yang dihormati, berlapis batu hitam.  Bila Anda Muslim dan hendak salat, masuk masjid ini tidak perlu bayar.  Namun bila Anda non-Muslim, maka Anda wajib membayar tiket masuk untuk berkunjung dan tidak boleh memasuki aula salat utama.  Padahal di langit-langit aula utama ada detail dekorasi yang membuat saya penasaran: sejumlah swastika berjejer.

Lagi-lagi teman Afgan saya menyuarakan protes, kali ini seusai salat berjamaah.  Ia mengeluhkan lafaz sang imam yang menurutnya tidak benar.  Selidik punya selidik, ini rupanya karena bacaan Qur’an mereka, yang tetap berbahasa Arab, ternyata ditulis dalam hanzi.  Wajar bila ada lafaz yang meleset.  Waduh, si Afgan langsung tidak terima.  “Ya, maaf ya, aku ketat soal ini.  Tapi kan bisa saja huruf Arab-nya ditulis dulu, baru cara bacanya dalam tulisan Cina.  Kenapa Qur’an-nya harus ditulis dalam huruf Cina?  Kalau mau bahasa Arab ya harus pas dong.”

Teman saya yang lain berargumen, mereka ini kan orang Cina.  Tahunya ya aksara Cina.  Mereka bisa membaca aksara Cina saja sudah syukur.  Teman baru kami, seorang Jerman berdarah Turki yang juga datang hendak salat, mengangguk setuju.  “Kami (orang Turki) juga pakai huruf sendiri,” katanya.
Saya bingung mau mengutarakan pendapat.  Diam-diam, saya menyetujui si Afgan: membaca-tulis huruf Arab sebenarnya kan bisa dipelajari.  Tapi tentu kami melihat dari sudut pandang Afganistan dan Indonesia, di mana melek tulisan Arab tersebar luas.  Mudah mencari tempat untuk mempelajari cara membaca Qur’an dalam bahasa Arab.  Namun  teman-teman saya yang lain juga ada benarnya: minoritas Muslim di Cina mungkin tidak memperoleh kemudahan semacam itu.

Kembali ke soal makanan.  Bagaimana kalau ternyata di daerah kita sedang berada, sulit menemukan restoran atau kedai Muslim, sementara perut sudah keroncongan?  Bila Anda tidak terlalu mempermasalahkan penyembelihan hewan, jaringan restoran seperti Yoshinoya dan KFC bisa menyelamatkan Anda.  Yoshinoya menjual berbagai paket nasi dengan ayam, ikan, dan daging sapi yang dimasak ala Jepang.  Bila tetap ragu pada dagingnya, Anda bisa memesan salad saja.  Sementara di KFC, meski tentu saja makanan utamanya tetap ayam yang digoreng ataupun diolah dengan cara lain, berhati-hatilah karena ada beberapa paket nasi yang dimasak dengan bacon

Mintalah menu berbahasa Inggris dari pramusaji.  Ah, tunggu… bagaimana dengan minyak yang digunakan untuk menggoreng?  Hmm.  Nah, inilah.  Siapa yang bisa menjamin kehalalannya?  Yah, jadi terserah Anda: mau baca basmalah dan tetap menyantap hidangan yang dijual jaringan-jaringan ini, atau bergegas mencari restoran berpapan nama hijau.

Oya, di supermarket di bawah foodcourt Muslim yang telah kita bahas di atas, Anda juga bisa memperoleh berbagai makanan segar maupun kemasan yang halal.  Oleh-oleh makanan untuk orang-orang rumah bisa Anda cari di sini.  Memang tak semuanya berlabel halal dari badan berwenang semacam majelis ulama, namun sudah dipilih-pilih oleh pihak supermarket berdasarkan bahan yang dipakai.

Oleh karena itu, bila Anda memeluk Islam, tak perlu ragu bepergian ke Beijing.  Sekarang pun ada sejumlah biro perjalanan yang menawarkan paket-paket tur khusus untuk Muslim.  Dan bila sebelum terbang Anda perlu menunaikan salat terlebih dahulu, ada ruang salat di Terminal 3 Keberangkatan Bandara Internasional Peking, yang dibangun demi para tamu Olimpiade yang beragama Islam.