Pages

Labels

Pemilu Myanmar Hari ini, Awal Segalanya


Pemilihan umum (pemilu) sela yang digelar di Myanmar hari ini sangat diharapkan, tidak hanya oleh rakyat negeri itu tapi juga negara-negara Barat.

Barat menjadikan pemilu itu sebagai syarat utama untuk pencabutan berbagai sanksi dan mengijinkan perusahaan-perusahaan mereka berinvestasi di Myanmar. Pemilu itu seakan menjadi stempel pengesahan langkah Barat yang masih terkena imbas krisis ekonomi, untuk berinvestasi di negara kaya sumber daya alam tersebut.

Pemerintahan sipil Myanmar juga berupaya menunjukkan bahwa negaranya melakukan sejumlah reformasi sejak berkuasa satu tahun silam. Myanmar telah membebaskan ratusan tahanan politik yang dipenjara oleh junta, menggelar perundingan damai dengan sejumlah milisi etnis dan membuka perekonomiannya bagi investor asing.

Myanmar yang selama beberapa dekade menjadi negara tertutup, kini membuka diri dan menunjukkan berbagai potensi ekonomi yang menggiurkan. Karena itulah, perusahaan-perusahaan Barat kini antri untuk masuk ke negara tersebut. Bahkan China dan India berlomba menawarkan investasi untuk mengolah sektor energi, layanan keuangan, telekomunikasi dan pariwisata.

Sejumlah diplomat mengatakan, beberapa sanksi Amerika Serikat (AS) seperti larangan visa dan pembekuan aset dapat dicabut segera jika pemilu di Myanmar hari ini dianggap kredibel. Uni Eropa (UE) juga mungkin mengakhiri sanksi-sanksi yang melarang investasi di bidang perkayuan dan tambang batu permata serta mineral.

Namun pemilu hari ini juga harus memberikan apresiasi pada ikon demokrasi Myanmar Aung San Suu Kyi yang turut memperebutkan satu dari 45 kursi parlemen. Keterlibatan Suu Kyi, 66, juga menjadi simbol yang hendak ditunjukkan pemerintah Myanmar bahwa negara itu telah mengakomodasi kekuatan oposisi utama di negara tersebut. Selama dua dekade terakhir, Suu Kyi lebih banyak menghabiskan waktunya dalam tahanan rumah junta. Setelah dibebaskan dari tahanan rumah oleh pemerintah sipil Myanmar, kini dia maju dengan membawa bendera partainya, Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD).

“Jika Suu Kyi dan oposisi demokratis memuji bahwa pemilu 1 April cukup bagus, di sana akan ada reaksi positif yang berantai di pemerintah AS,” tutur Jennifer Quigley, direktur advokasi Kampanye AS untuk Burma yang berbasis di Washington pada Reuters.

UE, Kanada, dan Australia menegaskan bahwa mereka akan melakukan langkah yang sama dengan AS. Dalam kunjungan ke Kamboja pekan lalu, Menteri Luar Negeri (menlu) Australia Bob Carr menjelaskan bahwa sejumlah embargo mereka akan dicabut, tapi dia menekankan bahwa setiap pencabutan sanksi akan dilakukan setelah konsultasi dengan oposisi Myanmar.

Namun banyak pengamat memperingatkan, pemilu ini menjadi dilema bagi Suu Kyi. Jika dia tidak setuju dengan hasil pemilu dan berbagai sanksi Barat tetap berlaku di Myanmar, citra Suu Kyi bisa rusak di mata jutaan rakyat Myanmar yang sejak lama mendambakan perubahan.

“Suu Kyi menganggap sanksi-sanksi itu sebagai pengungkit untuk mendapatkan apa yang dia inginkan dari pemerintah. Itu merupakan kebijakan yang sangat berbahaya. Mengapa? Karena itu menempatkan dirinya dalam posisi yang dianggap lebih memihak kemiskinan. Meski itu tidak diharapkannya, tapi itu akan merusak citranya,” tutur David Steinberg, pengamat Myanamr di Georgetown University, Washington.

Hingga saat ini ada sejumlah keluhan terkait pemilu. Setelah 49 tahun terisolasi di bawah pemerintahan junta militer, Myanmar hanya memiliki sedikit pengalaman untuk menggelar pemungutan suara yang jujur dan adil. Seperti yang terjadi pada pemilu 2010, saat banyak pihak menuduh terjadi sejumlah pelanggaran dan kecurangan untuk memenangkan Partai Pembangunan dan Persatuan Solidaritas (USDP) yang didukung militer. Saat ini USDP menjadi partai terbesar di parlemen.

Sebagian besar diplomat yakin pemerintah Myanmar ingin Suu Kyi dan NLD memiliki kursi di parlemen sehingga dapat menambah legitimasi lembaga legislatif tersebut. Namun sejak awal NLD telah menunjukkan kemungkinan memprotes hasil pemilu hari ini. NLD menuduh terjadi pembelian suara dan pencantuman nama orang yang sudah meninggal ke dalam daftar pemilu. NLD juga mengklaim presiden berupaya mempengaruhi hasil pemilu, padahal seharusnya dia tidak memihak.

Pemerintah Myanmar juga tidak mengijinkan misi pengawas yang layak untuk mengamati pesta demokrasi di negara itu. Pekan lalu, pemerintah mengundang satu tim yang terdiri atas lima pengawas dari Asia Tenggara dan meminta AS, UE, serta negara lain mengirim masing-masing dua orang pengawas. Langkah ini dianggap terlambat bagi beberapa orang.

Sanksi yang Kompleks

Tanpa melihat bagaimana hasil pemilu nanti, hingga saat ini belum jelas secepat apa sanksi-sanksi Barat dapat dicabut. Tidak mungkin mencabut semua sanksi itu secara serentak. Kondisi ini membuat banyak investor Barat harus berlomba dengan waktu, saat sejumlah perusahaan Asia membuat kesepakatan dan mengirim delegasi bisnis ke Myanmar untuk merebut berbagai peluang.

UE dihimbau untuk segera melunakkan berbagai sanksi terkait investasi. UE didorong untuk bertindak lebih cepat dibandingkan AS, termasuk dalam melonggarkan pembekuan aset.

Menurut beberapa diplomat dari negara-negara UE, sanksi-sanksi ini mungkin dicabut dengan voting oleh Dewan Urusan Luar Negeri UE, sepanjang pemilu Myanmar kredibel dan Suu Kyi memberikan restunya.

Yang masih akan disisakan ialah embargo persenjataan dan kebijakan perdagangan yang masih mengeluarkan Myanmar dari Generalized System of Preferences UE untuk negara-negara miskin, termasuk pembebasan tariff import berdasarkan inisiatif “Semua Selain Senjata.” Diplomat menjelaskan, pencabutan embargo persenjataan dan kebijakan perdagangan itu kompleks dan memerlukan waktu paling cepat satu tahun untuk mengesahkannya.

Kanada mungkin juga mulai mencabut sanksinya jika pemilu dianggap adil. Kanada selama ini melarang perdagangan dan investasi di Mynmar. Kanada juga menolak akses Myanmar untuk mendapatkan tariff rendah, bantuan pembangunan, dan layanan keuangan.

Perusahaan AS jadi Pemain Pinggir

Berbagai perkembangan yang terjadi di Myanmar membuat Washington terjepit. Berbagai sanksi yang diterapkan AS terhadap Burma sangat sulit untuk dicabut, meskipun sejumlah anggota parlemen AS mendukungnya.

Sanksi-sanksi AS terhadap Myanmar diterapkan melalui lima undang-undang federal dan empat perintah eksekutif presiden yang dikeluarkan antara 1990 dan 2008. Masing-masing sanksi itu berbeda dan tidak ada penjelasan pasti tentang batas waktu serta syarat pencabutan sanksi.

Myanmar mungkin telah memenuhi sejumlah syarat tersebut, seperti berunding dengan oposisi dan kemajuan dalam kebebasan media. Namun beberapa undang-undang AS itu mengharuskan pembebasan seluruh tahanan politik di Myanmar. Padahal tidak satu pihak pun benar-benar tahun berapa banyak orang yang masih berada di penjara Myanmar.

Selain itu, undang-undang AS juga menetapkan bahwa Presiden AS harus menyatakan dengan jelas bahwa Myanmar tidak lagi menjadi negara yang tertarik untuk perdagangan narkotika. Padahal Myanmar merupakan negara kedua terbesar yang menanam bunga opium.

Dengan semua ini, para ekonom berpendapat, keadaan ini tidak menguntungkan bagi AS yang ingin mengurangi pengaruh China di Myanmar. Berbagai sanksi itu juga menghalangi upaya perusahaan-perusahaan AS untuk berinvestasi di Burma.

“Menjadikan kita sendiri yang keluar dari arena perdagangan dan investasi saat semua orang melompat ke dalamnya, merupakan posisi AS yang tidak kita inginkan. Sekarang apa yang mereka dapat sangat rumit, struktur hukum yang berlapis-lapis, dan ada proses yang memerlukan waktu sangat lama,” kata Bradley Babson, mantan pejabat Bank Dunia dan pakar ekonomi Myanmar.

Reformasi Mata Uang

Langkah reformasi terbaru Myanmar ialah menetapkan kebijakan mengambang (float) bagi mata uangnya. Kebijakan ini berlaku mulai 1 April. Kebijakan reformasi mata uang ini sudah lama ditunggu banyak pihak karena akan menarik lebih banyak investor asing di negara kaya sumber daya alam tersebut.

Kebijakan ini dapat disebut sebagai salah satu reformasi terbesar yang dilakukan pemerintah Myanmar. Selama ini sistem pertukaran mata uang asing di negara itu sangat membingungkan banyak perusahaan asing karena ada begitu banyak tingkat nilai tukar mata uang, baik secara resmi atau di pasar gelap.

Dengan adanya reformasi mata uang ini, akan menyatukan berbagai tingkat nilai mata uang Myanmar di negeri itu. Sehingga dunia bisnis dan pemerintah dapat lebih mudah menangani penghitungan, akuntansi, dan perubahan mata uang.  

Memang langkah ini memiliki sejumlah resiko, termasuk tingkat nilai tukar yang tidak stabil atau penguatan mata uang yang dapat mempengaruhi sektor eksport saat Myanmar baru memasuki lagi ekonomi global. Pelaksanaan kebijakan ini juga lebih sulit dilaksanakan di Myanmar yang masih memiliki sedikit pakar yang mampu menangani reformasi keuangan yang rumit.   

Meski demikian, kebijakan terbaru ini layak diacungi jempol. Itu artinya, pemerintah Myanmar benar-benar berupaya menggerakkan perekonomiannya dan membuka diri bagi para investor asing. Diharapkan geliat ekonomi itu meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. (syarifudin)