Pages

Labels

Dunia Kecam Perluasan Pemukiman Israel

NEW YORK- Amerika Serikat (AS), Rusia, Uni Eropa, dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengecam langkah Israel memperluas pemukiman yahudi di Tepi Barat.



Menurut Kuartet Timur Tengah itu tindakan Israel mengancam upaya perdamaian. Kecaman dunia itu muncul di tengah upaya utusan khusus Kuartet Tony Blair untuk membawa kembali Palestina dan Israel ke perundingan langsung.



“Kuartet sangat mengkhawatirkan pengumuman terbaru Israel untuk rencana memperluas unit perumahan baru di Ariel dan Yerusalem timur,” papar pernyataan Kuartet, seperti dikutip AFP kemarin. “Ini muncul pada titik kritis dengan upaya Kuartet saat ini untuk menghidupkan lagi negosiasi, yang merupakan satu-satunya jalan untuk solusi jangka panjang atas konflik.”



Israel pada Senin (15/8) menyetujui pembangunan 277 rumah baru di Ariel, pemukiman Yahudi di dalam tanah pendudukan Tepi Barat, sehingga totalnya lebih dari 2.700 rumah baru yang disahkan dalam dua pekan terakhir.



Rencana perluasan itu membawa respon mengkhawatirkan dari Otoritas Palestina yang menghentikan perundingan langsung sejak Israel menghentikan moratorium pembangunan pemukiman pada September tahun lalu.



Israel menolak kritik internasional dengan menegaskan bahwa pemukiman bukan penghalang perundingan langsung. “Palestina telah bernegosiasi berulang kali saat pemukiman ada,” papar Duta Besar Israel di PBB Ron Prosor. “Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu telah membekukan pemukiman, selama itu Palestina menunggu sembilan bulan untuk kembali ke meja perundingan. Mengapa? Mereka telah belajar bahwa lebih baik bagi mereka untuk mundur dan tidak melakukan apa pun.”



Kedua pihak menciptakan konfrontasi diplomatik baru saat Presiden Palestina Mahmud Abbas bersiap mencari keanggotaan penuh di PBB melalui Majelis Umum PBB pada September silam. Israel menganggap langkah Palestina itu mengancam proses perdamaian dan AS diharapkan memveto semua aplikasi ke Dewan Keamanan PBB.



“Kuartet menegaskan lagi bahwa aksi unilateral oleh pihak mana pun tidak dapat membenarkan hasil negosiasi dan tidak akan diakui oleh komunitas internasional,” papar pernyataan Kuartet. “Yerusalem merupakan salah satu isu inti yang harus diselesaikan melalui negosiasi antara berbagai pihak, yang menegaskan pentingnya bagi semua pihak untuk kembali ke perundingan secara serius dan sungguh-sungguh.”



Kuartet juga mengalami perbedaan pendapat dalam beberapa bulan terakhir, terkait bagaimana cara mengakhiri konflik yang hendak diselesaikan selama bertahun-tahun. Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Catherine Ashton, Menteri Luar Negeri AS Hillary Clinton dan Menlu Rusia Sergei Lavrov menggelar pertemuan di Washington bulan lalu dan tidak dapat membuat kesepakatan tentang berbagai isu.



Kekuatan Eropa ingin Kuartet mengambil peran lebih besar untuk membawa kembali Palestina dan Israel ke meja perundingan, meski itu berarti harus menetapkan berbagai parameter untuk perundingan. AS menolak langkah tersebut.



Mantan PM Inggris Blair yang menjadi delegasi khusus Kuartet sejak 2007 sedang bekerja dalam komunike Kuartet yang diharapkan dapat mengakhiri perpecahan antara kekuatan dunia dan membantu perundingan berjalan lagi sebelum Majelis Umum PBB.



“Upaya itu terus berjalan. Tony Blair berada dalam pusat upaya menemukan langkah relevan ke depan. Blair sedang membuat kemajuan. Jika Anda bicara tentang kesuksesan, belum,” papar seorang diplomat PBB.



Sementara itu pasukan rezim Zionis menembak mati seorang pria Palestina pada Selasa (16/8) waktu setempat, saat pria itu berada di dekat perbatasan dengan Israel. Penembakan itu terjadi beberapa jam setelah tim medis Palestina melaporkan seorang warga Palestina tewas dan tujuh orang terluka dalam sedikitnya empat seranagn udara Israel di Jalur Gaza.



Militer Israel menyatakan, pesawat tempurnya menargetkan empat wilayah di Jalur gAza untuk merespon penembakan roket Grad dari wilayah Palestina di selatan Israel.



Pria itu tewas dekat pagar perbatasan dengan Israel yang menurut keluarganya bernama Mohammed al-Majdalali, 22. Laporan awal paramedis dan saksi mata menyatakan dia berusia 17 tahun.



“Majdalali mendekati perbatasan timur kamp pengungsi Maghazi di pusat Jalur Gaza,” papar saksi mata. Kerabatnya menyatakan dia bukan anggota kelompok bersenjata mana pun. (syarifudin)