Pages

Labels

Jepang Tutup Kebocoran dari PLTN

TOKYO- Pekerja di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi menutup lubang kebocoran yang mengalirkan air radioaktif level tinggi ke laut, kemarin. Tapi operator PLTN masih membuang 11.500 ton air radioaktif level rendah ke laut untuk mengosongkan ruang penyimpanan.

Kondisi ini menunjukkan lambatnya perkembangan perbaikan PLTN itu. Apalagi operator PLTN, Tokyo Electric Power (TEPCO) mengkhawatirkan terbentuknya gas hidrogen di salah satu reaktor yang dapat menimbulkan ledakan di fasilitas nuklir tersebut.

“Para pekerja mengkonfirmasi pada pukul 5.38 pagi waktu setempat bahwa aliran air di lubang penyaluran sudah dihentikan,” papar pernyataan TEPCO, kemarin, seperti dilaporkan kantor berita AFP.

Kebocoran air yang diduga menjadi penyebab meningkatnya level radiasi di laut, membuat pekerja TEPCO juga menyuntikkan sodium silicate, bahan kimia yang disebut juga “air kaca” untuk memadatkan tanah dekat sebuah retakan lubang yang menjadi jalur kebocoran air radioaktif menuju samudera Pasifik.

Lubang yang retak 20 centimeter di dindingnya itu terhubung dengan reaktor nuklir No. 2, satu dari beberapa reaktor yang sistem pendinginnya rusak akibat gempa bumi dan tsunami 11 Maret.

Beberapa upaya yang berakhir gagal, telah dilakukan untuk mencoba menghentikan kebocoran air radioaktif, termasuk menutup retakan itu dengan semen. Di tengah kondisi ini, saham TEPCO terus merosot drastis, kemarin, turun 6,9% pada 337 yen, rekor terendah terbaru, di tengah perkiraan besarnya klaim kompensasi yang harus dibayar operator itu.

Kemarin, pemerintah Jepang menjanjikan kompensasi bagi industri perikanan, sehari setelah meningkatnya kekhawatiran akibat kontaminasi radioaktif iodine di bahan makanan dari laut untuk pertama kali.

Level radioaktif iodine-131 dan caesium di air laut sekitar PLTN meningkat drastis. Hal ini kian mengkhawatirkan kehidupan laut di negara yang sangat tergantung dengan bahan makanan dari laut. Penangkapan ikan telah dilarang dalam radius 20 kilometer dari PLTN, sesuai dengan radius zona evakuasi di darat.

TEPCO hingga kemarin terus membuang 11.500 ton air radioaktif level rendah ke laut. Juru bicara badan keamanan nuklir Jepang Hidehiko Nishiyama menjelaskan, sekibat 10.400 ton air sudah dibuang.

Ketua Koperasi Nelayan Jepang (JFC) Ikuhiro Hattori kemarin mengunjungi kantor pusat TEPCO untuk memprotes pembuangan air radioaktif ke laut, Menurut Hattori, tindakan itu tidak dapat dimaafkan.

Sementara itu, pejabat TEPCO mengkhawatirkan pembentukan hidrogen di gedung sekitar reaktor No. 1 yang dapat bereaksi dengan oksigen dan menghasilkan ledakan besar. Kemarin mereka mengumumkan rencana untuk mulai memasukkan nitrogen, dengan harapan akan mengeluarkan oksigen.

“Kami mempertimbangkan menyuntikkan nitrogen ke kontainer reaktor nomor 1 karena gas hidrogen kemungkinan berkumpul di kontainer itu,” papar seorang pejabat TEPCO, kemarin.

Penyiaran publik NHK mengutip sumber anonim yang menjelaskan, TEPCO dapat mulai menyuntikkan nitrogen di reaktor nomor 1 pada Rabu (6/4) malam dan melakukan prosedur yang sama di reaktor nomor 2 dan 3.

Beberapa hari setelah gempa bumi dan tsunami, ledakan besar terjadi akibat akumulasi hidrogen dekat beberapa reaktor, sehingga merusak gedung-gedung terluar yang menaunginya. Bencana alam 11 Maret silam mengakibatkan lebih dari 12.000 orang tewas dan 15.000 orang hilang.

Krisis nuklir itu memaksa TEPCO membayar uang kompensasi pada ribuan keluarga yang tinggal di dekat PLTN. “TEPCO mempertimbangkan pembayaran awal sebesar satu juta yen (USD11.700) untuk per kepala keluarga yang terkena dampak krisis nuklir,” ungkap laporan televisi NHK dan TBS.

Menteri Perdagangan Jepang Banri Kaieda menjelaskan, pembayaran awal itu untuk menyediakan pemukiman sementara bagi mereka yang terpaksa mengungsi dalam radius 20 kilometer dari PLTN. Pembayaran itu pun bukan kompensasi terakhir.

Sementara itu, restoran-restoran Jepagn di India mengalami kesulitan mencari bahan baku pengganti karena pemerintah New Delhi melarang import pangan dari Jepang. “Ini sebuah tantangan. Memang sulit, tapi tidak mustahil,” ujar koki Jepang Atsushi Honda yang bekerja di Harima Restaurant, selatan kota teknologi tinggi Bangalore, India.

Meski beberapa bahan baku utama untuk makanan yang dijual di restoran-restoran Jepang di India bisa dicari di daerah setempat, namun beberapa bumbu khusus, seperti saus, cuka, dan rumput laut masih harus diimpor dari Jepang, dan kini masuk dalam daftar larangan pemerintah India. (syarifudin)