Pages

Labels

Usai Cabut Keadaan Darurat, Assad Tetap Didesak Mundur

DAMASKUS- Pengunjuk rasa anti pemerintah kembali memenuhi jalanan kemarin, sehari setelah Presiden Suriah Bashar al-Assad menandatangani dekrit pencabutan peraturan darurat yang berlaku lima dekade.

Unjuk rasa kemarin menjadi ujian bagi Assad dan agenda reformasinya. Assad mengeluarkan perintah mencabut keadaan darurat dan mengeluarkan dekrit pencabutan pengadilan keamanan negara serta mengijinkan warganya menggelar demonstrasi damai.

Pengumuman kebijakan ini mengisyaratkan kemungkinan suksesi dalam waktu dekat. Tokoh hak asasi manusia menyambut langkah Assad tapi dia didesak untuk melakukan lebih banyak tindakan.

“Pencabutan keadaan darurat dan pembubaran pengadilan keamanan negara emrupakan langkah positif, tapi selama beberapa hari ke depan, kami akan mengawasi ketat pasukan keamanan untuk melihat apakah mereka melanggar hukum,” ujar Rami Abdul Rahman dari Pengawas HAM Suriah yang berkantor pusat di London, pada kantor berita AFP.

Pengacara HAM Haitham Maleh mengulangi seruan untuk emncabut satu pasal dalam konstitusi yang merujuk pada Partai Baath sebagai pemimpin negara dan masyarakat Suriah. “Pasal 49 yang dijadikan landasan agar anggota Persaudaraan Muslim (Ikhwanul Muslimin) dapat dihukum mati, harus dihapus,” paparnya.

Sedangkan aktivis cyber Suriah yang berbasis di Beirut, Malath Omran menjelaskan, berakhirnya keadaan darurat tidak akan mengubah apa pun di Suriah karena saat ini rakyat menginginkan perubahan rezim. “Sejak hari pertama, orang-orang yang turun ke jalan memiliki satu tujuan, menjatuhkan rezim,” kata pemain utama di balik unjuk rasa di Suriah.

Menteri Luar Negeri (menlu) Jerman Guido Westerwelle menyambut langkah Assad mencabut keadaan darurat sebagai langkah pertama ke arah yang tepat. Tapi dia memperingatkan, keputusan itu harus diikuti reformasi politik yang cepat dan penghentian kekerasan.

Sedangkan juru bicara Kementerian Pertahanan Amerika Serikat (AS) Mark Toner menekankan, “Assad harus melakukan lebih banyak, atau mengijinkan orang lain melakukan lebih banyak, jika dia hendak memuaskan desakan reformasi rakyat Suriah.”

Sementara itu, otoritas Mesir mempertimbangkan mengirim mantan Presiden Hosni Mubarak ke penjara atau sebuah rumah sakit penjara, saat muncul laporan bahwa kesehatannya tidak stabil. Jaksa Mesir Abdel Magid Mahmud Mahmud memerintahkan tim medis menuju Sharm el-Sheikh, tempat Mubarak dalam tahanan di rumah sakit. “Tim itu akan melihat kondisi kesehatan terbarunya dan kemungkinan dia dipindah ke penjara Tora atau ke penjara rumah sakit,” papar kantor kejaksaan.

Kejaksaan juga memerintahkan persiapan di rumah sakit di selatan penjara Tora, Kairo. “Tim medis akan menuju rumah sakit penjara Tora untuk menilai fasilitas dan perlengkapan serta melakukan persiapan yang diperlukan untuk dapat menampung mantan presiden Hosni Mubarak, berdasarkan kondisi medisnya,” papar kejaksaan.

Segera setelah pernyataan kejaksaan itu, kantor berita Mesir, MENA, melaporkan bahwa kondisi kesehatan Mubarak tidak stabil. “Mubarak, 82, berada di kamar 309 dan kesehatannya tidak stabil, kata sumber medis di Sharm el-Sheikh yang dikutip MENA.

Pemimpin Mesir yang mundur pada 11 Februari itu ditahan terkait tuduhan kekerasan terhadap demonstran selama 18 hari unjuk rasa anti pemerintah yang mengakhiri 30 tahun kekuasaannya. Dia juga diperiksa atas sejumlah kasus korupsi.

Dua putra Mubarak, Alaa dan Gamal, serta beberapa menteri dan pembantu seniornya, juga ditahan di kompleks penjara Tora dengan berbagai tuduhan, mulai dari korupsi hingga kasus kekerasan.

Petugas komisi pencari fakta menjelaskan, Mubarak terlibat dalam penembakan demonstran anti pemerintah, saat hendak meredam revolusi. Hakim Omar Marwan yang menjadi sekretaris jenderal komisi merilis laporan bahwa sedikitnya 846 warga sipil tewas dalam unjuk rasa menggulingkan Mubarak.

“Sebanyak 26 polisi juga tewas dalam kerusuhan. Polisi menggunakan kekuatan berlebihan terhadap demonstran dan menembak orang yang mencoba memfilmkan kerusuhan dari balkon-balkon dan jendela-jendela,” papar laporan komisi pencari fakta. “Benar bahwa Mubarak mengijinkan penggunaan peluru tajam terhadap demonstran. Penembakan terjadi dalam beberapa hari dan dia tidak dapat mempertanggungjawabkan siapa yang menembakkan peluru tajam.”

Sedangkan di Yaman, demonstran memenuhi jalanan ibu kota, kemarin. Mereka mendesak agar presiden Yaman Ali Abdullah Saleh segera mengundurkan diri. Demonstran memenuhi pusat kota Sanaa setelah salat Jumat. Selain demonstran anti pemerintah, para pendukung Saleh juga menggelar unjuk rasa tandingan.

Oposisi menyebut unjuk rasa itu “Jumat Peluang Terakhir”, sedangkan pendukung rezim menyebut pawai mereka “Jumat Rekonsiliasi.” Tentara dan polisi dikerahkan untuk mencegah terjadinya bentrok antara dua kelompok. (syarifudin)