TRIPOLI- Pasukan koalisi kemarin melancarkan serangan udara di hari ketujuh terhadap pasukan darat rezim Pemimpin Libya Muammar Khadafi di Tripoli dan Ajdabiya. NATO sepakat mengontrol zona larangan terbang di Libya.
Pesawat tempur Inggris dan Prancis menggencarkan serangan terhadap pasukan darat di kota strategis Ajdabiya, bagian timur Libya.
“Kami melakukan aksi sebagai bagian upaya internasional melindungi warga sipil terhadap rezim Khadafi,” papar Sekretaris Jenderal NATO Fogh Rasmussen, kemarin. Dia menekankan, peran NATO terbatas untuk melaksanakan zona larangan terbang.
Namun seorang pejabat senior Amerika Serikat (AS) di Washington mengatakan, NATO yang terdiri 28 negara mencapai kesepakatan politik untuk memimpin seluruh operasi lain yang bertujuan melindungi warga sipil, yang juga berarti menyerang pasukan darat Khadafi.
Kabar ini muncul saat tembakan senjata antipesawat menyalak di langit Libya sepanjang malam kemarin. “Sedikitnya tiga ledakan mengguncang ibu kota Tripoli dan wilayah timur Tajura. Sedikitnya satu ledakan terdengar dari pusat kota Tripoli, dan lainnya berasal dari Tajura yang menjadi lokasi pangkalan militer rezim,” papar wartawan AFP.
“Senjata anti-pesawat dan sejumlah ledakan juga terdengar di kota pantai Sirte, kota asal Khadafi yang berada 600 kilometer timur Tripoli,” kata seorang warga.
Meski dibombardir bertubi-tubi oleh koalisi asing, pasukan Khadafi tetap mengontrol Tripoli. Pasukan Khadafi kemarin menyerang Zintan, timur Tripoli, saat pemberontak berjuang mengambil alih lagi kota Ajdabiya. Sebelum serangan udara, kemarin, oleh pesawat tempur Inggris, pemberontak dalam jarak tembak Ajdabiya, tapi dipukul mundur oleh kendaraan lapis baja pasukan Khadafi di pintu gerbang kota.
“Mereka menembaki kami dengan tank-tank, artileri, dan rudal-rudal Grad. Kami hanya memiliki persenjataan ringan,” kata Mohammed, pemberontak yang kembali dari garis depan pertempuran.
Menteri Pertahanan Inggris Liam Fox menuturkan, pesawat tempur Tornado GR4 meluncurkan rudal-rudal sepanjang malam terhadap kendaraan lapis baja Khadafi di Ajdabiya, 860 kilometer dari Tripoli. “Pesawat Tornado melepaskan sejumlah rudal kendali Brimstone menargetkan kendaraan lapis baja Libya yang mengancam populasi sipil Ajdabiya,” katanya.
Sebuah pesawat tempur Prancis juga menghancurkan satu baterai artileri kemarin malam di pinggiran Ajdabiya yang masih dalam kendali pemberontak. “Saya ragu (perang) ini akan berakhir dalam beberapa hari, saya pikir akan berlangsung beberapa pekan, dan saya harap tidak akan sampai berbulan-bulan,” papar Panglima Pertahanan Prancis Admiral Edouard Guillaud.
Pemberontak bertempur untuk mengambil alih kembali Ajdabiya yang terletak di persimpangan jalan menuju basis mereka di Benghazi dan Tobruk. Saat ini Ajdabiya dikuasai pasukan Khadafi dan dijaga oleh sejumlah kendaraan lapis baja di pintu masuk kota.
Sedangkan kondisi di kota Misrata relatif tenang, meski para penembak jitu (sniper) rezim Khadafi masih berada di pusat kota. “Para sniper masih bersembunyi di gedung-gedung yang berada di Jalan Tripoli, Misrata. Kami tidak tahu berapa banyak yang masih tersisa. Pemberontak sejauh ini menewaskan 30 sniper,” kata Sami, juru bicara pemberontak.
Pemberontak mengklaim berhasil mengontrol lagi pelabuhan yang menjadi lokasi penting bagi suplai makanan dan medis. Warga mengaku listrik, air, dan layanan telepon tidak berfungsi.
Seorang dokter yang merawat korban terluka di sebuah rumah sakit di Misrata mengatakan, serangan oleh pasukan Khadafi sejak 18 Maret sudah menewaskan 109 orang dan melukai 1.300 orang lainnya, 81 orang dalam kondisi kritis.
Pada Kamis (24/3), satu pesawat tempur Khadafi yang mengabaikan zona larangan terbang langsung ditembak jatuh oleh pesawat Prancis, setelah pesawat itu mendarat di Misrata, sekitar 214 kilometer timur Tripoli.
“Lokasi warga sipil dan militer di Tripoli dan Tajura dibombardir rudal-rudal jarak jauh,” papar televisi pemerintah Libya.
Juru bicara pemerintah Libya di Tripoli mengatakan, lebih dari 100 warga sipil tewas sejak serangan udara koalisi dimulai Sabtu (19/3). Jumlah tersebut bisa terus bertambah seiring aksi militer koalisi yang terus membombardir wilayah Libya.
Jenderal Carter Ham dari AS yang bertanggung jawab dalam operasi pasukan koalisi mengatakan, pasukan sekutu tidak dapat memastikan tidak ada warga sipil yang tewas. “Kami mencoba agar serangan sangat tepat,” ujarnya.
Serangan udara pasukan koalisi sejak Sabtu (19/3) menargetkan pertahanan udara Libya, sesuai resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Namun pasukan koalisi juga memberikan perlindungan terhadap pemberontak yang hendak menggulingkan Khadafi.
Di Benghazi, tempat pemberontak membentuk pemerintahan alternatif, mereka mengatakan memerlukan persenjataan anti-tank jika ingin mengakhiri 41 tahun pemerintahan Khadafi. “Kami memerlukan persenjataan dan amunisi. Ini satu-satunya masalah kami,” papar juru bicara militer pemberontak Kolonel Ahmed Bani.
AS mendesak militer Libya untuk mengabaikan semua perintah Khadafi. “Pesan kami sederhana: hentikan pertempuran, hentikan membunuh rakyatmu sendiri, berhenti melaksanakan perintah Kolonel Khadafi,” papar Wakil Admiral William Gortney. “Jujur dikatakan, koalisi tumbuh dalam ukuran dan kemampuannya setiap hari. Lebih dari 350 pesawat telah terlibat dalam sejumlah kapasitas. Hanya sedikit lebih dari setengahnya milik AS.”
Pentagon mengatakan, 12 negara kini terlibat dalam koalisi untuk memberlakukan zona larangan terbang, termasuk dua negara Arab, Qatar dan Uni Emirat Arab (UEA), yang akan melibatkan 12 pesawat dalam beberapa hari mendatang. Qatar sudah mengirimkan dua pesawat tempur dan dua pesawat angkut militer untuk membantu pemberlakuan zona larangan terbang di Libya.
Emirat bersedia mengirimkan enam pesawat tempur F-16 dan enam pesawat Mirage untuk membantu pasukan koalisi di Libya. “Partisipasi UEA dalam patroli akan berlaku dalam beberapa hari mendatang,” papar Menteri Luar Negeri (menlu) UEA Abdullah bin Zayed al-Nahayan, seperti dikutip AFP.
Para diplomat pasukan aliansi terus bernegosiasi tetnang cara mengkoordinasikan operasi militer terhadap Khadafi. “Kami telah sepakat, bersama aliansi NATO, untuk memindahkan komando dan kontrol zona larangan terbang di Libya pada NATO,” ujar Menlu AS Hillary Clinton, yang berbicara setelah bertemu Presiden Barack Obama dan tim keamanan nasional AS.
“Seluruh 28 negara aliansi juga mengesahkan otoritas militer untuk mengembangkan rencana operasi bagi NATO agar memperluas perlindungan sipil berdasarkan Resolusi 1973 (Dewan Keamanan PBB),” kata Hillary.
Hillary menyatakan kemajuan besar dalam lima hari terakhir. Dia juga menekankan dukungan penting Arab dalam operasi itu dan memuji Qatar dan Uni Emirat Arab yang bergabung koalisi.
Sedangkan Presiden Prancis Nicolas Sarkozy, koordinasi internasional harus tetap dilakukan secara politik, meski NATO mengambil alih komando militer. “Ini akan memberi kesempatan anggota non-NATO, seperti mitra Arab, untuk terlibat dalam pembuatan keputusan politik,” katanya.
“Mengetatkan sanksi dalam bidang minyak dan gas diperlukan untuk memastikan Khadafi tidak membayar tentaranya dengan sumber daya minyak,” ujar Sarkozy.
Perdana Menteri (PM) Inggris David Cameron menyambut keputusan NATO untuk mengambil alih kontrol penerapan zona larangan terbang di Libya. “Keputusan NATO merupakan langkah penting ke depan dan akan memastikan bahwa upaya aliansi digunakan untuk memberi dampak terbaik,” kata juru bicara kantor Cameron di Downing Street.
Saat ini negara-negara Afrika bertemu di ibu kota Ethiopia, Addis Ababa, untuk membahas krisis Libya, bersama delegasi dari Libya, Uni Eropa, PBB, Liga Arab, dan Organisasi Konferensi Islam (OKI).
“Tujuannya untuk bertukar pikiran untuk mengambil langkah atas situasi di Libya dan mencari jalan solusi terhadap krisis itu,” kata Ketua Komisi Uni Afrika Jean Ping, sebelum menggelar pertemuan tertutup.
Ping baru pulang dari Eropa setelah bertemu Menlu Prancis Alain Juppe dan kepala diplomat Uni Eropa Catherine Ashton. “Situasi di Libya menjadi agenda utama dua pertemuan tersebut,” kata juru bicara Ping, Noureddine Mezni.
Delegasi rezim Khadafi dipimpin oleh Mohammed al-Zwai, sekretaris jenderal Kongres Rakyat Umum. Dia berada di ibu kota Ethiopia untuk berunding bersama empat menteri Libya. (syarifudin)