BENGHAZI (SINDO)- Demonstran prodemokrasi bertekad menggulingkan Pemimpin Libya Muammar Khadafi tanpa intervensi militer asing mana pun, meski pertumpahan darah terjadi lagi.
Saat ini para pemimpin dunia menawarkan pilihan untuk mengakhiri 41 tahun pemerintahan Khadafi. Namun demonstran di kota terbesar kedua Libya, Benghazi, menggelar sebuah spanduk bertuliskan, “Tolak intervensi asing, rakyat Libya dapat melakukannya sendiri.”
Gerakan oposisi semakin kuat di Libya karena musuh-musuh Khadafi mengumumkan pembentukan dewan nasional di semua kota yang terlepas dari kontrol rezim. Dewan nasional itu akan menjadi wajah Libya di masa transisi.
Juru bicara gerakan revolusi Libya Abdel Hafiz Ghoqa menyatakan, rakyat akan membebaskan kota-kota di seluruh negara kaya minyak tersebut dan menyerahkan tugas membebaskan ibu kota Tripoli pada militer.
“Demonstran anti rezim meminta militer membebaskan Tripoli. Tapi rakyat Libya akan membebaskan kota-kota mereka lainnya,” papar Ghoqa yang menolak anggapan diperlukannya intervensi atau operasi militer asing mana pun.
Perdana Menteri (PM) Prancis Francois Fillon menyatakan, semua opsi sedang dibicarakan para pemimpin dunia. “Saya tahu orang-orang menyebut solusi militer dan solusi ini sedang dibahas pemerintah Prancis,” katanya, seperti dikutip kantor berita AFP.
Salah satu opsi yang ditawarkan ialah menggunakan angkatan udara NATO untuk memberlakukan zona larangan terbang di atas Libya, untuk menghentikan Khadafi melakukan serangan udara terhadap rakyatnya. Namun langkah semacam itu membutuhkan persetujuan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Amerika Serikat (AS) menyatakan, pengasingan terhadap Khadafi merupakan salah satu opsi yang akan memuaskan desakan agar pemimpin Libya itu pergi. Menurut juru bicara Gedung Putih Jay Carney, Washington terus berkomunikasi dengan berbagai faksi oposisi Libya. Tapi Carney menjelaskan, masih terlalu dini untuk mulai membicarakan pengakuan terhadap salah satu kelompok oposisi atau kelompok lain.
Sementara itu, Khadafi mengerahkan pasukannya ke wilayah perbatasan barat, Dehiba, kemarin, mengabaikan tekanan ekonomi dan militer Barat. Pengerahan pasukan itu membuat banyak pihak semakin khawatir akan terjadi lebih banyak kerusuhan.
Beberapa wartawan di wilayah Tunisia kemarin melihat kendaraan militer Libya dan tentara bersenjata Kalashnikov. Padahal hari sebelumnya tidak aad pasukan Libya di lintas perbatasan Dehiba yang terletak 60 kilometer dari kota Nalut.
Di wilayah barat lainnya, warga mengaku melihat pasukan pendukung Khadafi dikerahkan untuk mengontrol lagi Nalut, untuk memastikan daerah itu tidak jatuh ke tangan penentang rezim.
Meski saat ini Khadafi masih menguasai Tripoli, basis terakhirnya, pengaruh pemimpin itu di Libya telah merosot drastis dalam dua pekan terakhir. Sejumlah pemimpin suku, pejabat pemerintah, pejabat militer, dan unit-unit angkatan darat telah membelot menjadi pendukung pemberontak. Penentang rezim kini menguasai wilayah timur yang menjadi produsen utama energi.
Sementara itu, tokoh penting dari Aljazair yang diasingkan, Abdullah Anas, memperingatkan bahwa bantuan militer Barat pada kelompok penentang Khadafi akan menjadi sebuah kesalahan besar. Menurut Anas, setiap bantuan persenjataan Barat akan dimanfaatkan oleh Al Qaeda sebagai tanda imperialisme Barat, sama seperti ketika Barat menginvasi Irak pada 2003.
“Ini akan menjadi alasan seruan untuk jihad. Ini akan menguntungkan Khadafi dan Al Qaeda. Barat harus ingat apa yang terjadi di Irak,” katanya, seperti dikutip kantor berita Reuters.
Sementara itu di perbatasan Ras Jdir, antara Libya dan Tunisia, ribuan pengungsi asal Mesir marah karena warganegara lain dipindahkan dari perbatasan, tapi mereka tidak. Mereka membakar ranting-ranting pohon dan bersitegang dengan para petugas.
“Kapan kami dibawa pergi dari sini? Kami tidak dapat menerima ini,” tegas seorang warga Mesir di sebuah tenda, 5 kilometer dari perbatasan. “Beri saya seekor unta. Saya akan mengendarai unta. Saya hanya ingin kembali pulang.” (syarifudin)