WASHINGTON- Rakyat Arab Saudi memiliki hak untuk unjuk rasa damai. Pernyataan itu dilontarkan Amerika Serikat (AS) setelah pemerintah Saudi mengingatkan bahwa demonstrasi dilarang di kerajaan itu.
Terinspirasi oleh gelombang protes di negara-negara Arab lainnya, pengikut Syiah menggelar demonstrasi dalam beberapa hari terakhir di wilayah timur Saudi. Grup di Facebook juga menyerukan dua unjuk rasa lagi pada bulan ini, yang pertama akan digelar pada Jumat mendatang (11/3).
“AS mendukung hak-hak universal, termasuk hak untuk berkumpul secara damai dan kebebasan berekspresi. Hak tersebut harus dihormati di semua tempat, termasuk Arab Saudi,” papar juru bicara (jubir) Kementerian Luar Negeri (kemlu) AS P.J. Crowley kemarin.
Meski aliansi AS itu belum menghadapi unjuk rasa dalam skala hingga menjatuhkan pemimpin di Mesir dan Tunisia, penolakan terhadap rezim sudah terbangun saat kerusuhan terus menyebar di Yaman, Bahrain, Yordania, Libya dan Oman.
Kementerian Dalam Negeri (kemendagri) Arab Saudi pekan lalu mengeluarkan pernyataan bahwa pasukan keamanan akan menghentikan semua upaya untuk mengacaukan ketertiban publik. “Peraturan kerajaan secara total melarang semua bentuk demonstrasi, pawai, dan pendudukan suatu tempat,” tegas pemerintah.
Sementara di Oman, Sultan Qaboos memecat menteri ekonomi dan menteri dalam negeri (mendagri) dalam perombakan (reshuffle) kabinet besar-besaran kemarin, setelah beberapa pekan demo antipemerintah. “Sultan Oman memerintahkan perombakan dewan menteri,” papar pembaca berita televisi, sebelum merinci nama-nama anggota kabinet baru.
Menteri Ekonomi Oman Ahmad bin Abdel Nabi Mekki dan Mendagri Saud bin Ibrahim al-Busaidi merupakan tokoh terpenting yang dipecat, bersama Menteri Perdagangan dan Industri Maqbool bin Ali bin Sultan. Busaidi diganti oleh Menteri Pegawai Negeri Faisal bin Said al-Busaidi.
Perombakan itu sudah diperkirakan terjadi setelah Sultan Qaboos pekan lalu memecat dua menteri untuk merespon aksi unjuk rasa. Saat ini demonstrasi masih berlanjut. Pengunjuk rasa mengecam merebaknya korupsi dan lambatnya reformasi demokratis.
Sedangkan di Tunisia, pemerintahan sementara menunjuk kabinet baru dan membubarkan polisi rahasia yang dituduh banyak melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) selama presiden terguling Zine al-Abidine Ben Ali.
Perdana Menteri (PM) Tunisia Beji Caid Sebsi mengumumkan kabinet baru yang terdiri atas para teknokrat, bukan politisi. Tidak seorang pun anggota kabinet yang berasal dari pemerintahan Ben Ali. “Ini pemerintahan sementara yang akan bertugas hanya empat setengah bulan, untuk menyelamatkan negeri dari situasi buruk,” paparnya, seperti dikutip AFP.
Setelah pengumuman kabinet baru, jubir Kemendagri menyatakan, aparat keamanan dan polisi rahasia telah dibubarkan. “Saya dapat mengonfirmasi bahwa pemerintah telah membubarkan mereka. Kami akan mengambil berbagai keputusan lain yang akan menyenangkan rakyat,” katanya. Dua lembaga keamanan itu semasa Ben Ali difungsikan sebagai badan mata-mata dalam negeri yang berwenang menekan oposisi yang melawan rezim.
Sementara di Aljazair, lebih dari 2.000 anggota badan keamanan daerah yang membantu memerangi pemberontakan di negara itu berunjuk rasa untuk meminta kenaikan gaji. Mereka berpawai dari Lapangan Martir dan menerobos barisan keamanan untuk mencapai gedung parlemen.
Badan keamanan daerah itu dibentuk sebagai pasukan polisi pembantu di era 1990-an, saat militan melancarkan pemberontakan yang menewaskan 200.000 orang. Kekerasan mereda setelah pemerintah melumpuhkan pemberontak dan menawarkan amnesti.
Pemerintah mempertimbangkan pembubaran badan keamanan daerah dengan memasukkan para anggotanya ke badan-badan lain, termasuk militer. Namun para anggotanya menolak ide tersebut dan menuntut kenaikan gaji atau pensiun dini.
Sedangkan di Mesir, Perdana Menteri (PM) yang baru Essam Sharaf menegaskan, dia akan bekerja untuk memulihkan ekonomi setelah beberapa pekan unjuk rasa dan kekacauan politik. Pidato itu diucapkannya setelah dia dilantik dan kabinet baru resmi bekerja.
Perombakan kabinet itu merupakan perubahan terbaru untuk memenuhi keinginan demonstran yang ingin memastikan semua pejabat yang terkait Presiden Mesir Hosni Mubarak yang terguling, tidak dipilih lagi. “Prioritas kami untuk mengembalikan keamanan dan stabilitas secepat mungkin dan membuat roda produksi berputar lagi,” kata Sharaf, seperti dikutip Reuters.
“Kami tegaskan bahwa ekonomi mesi ialah ekonomi bebas tapi dalam kerangka keadilan sosial. Ekonomi akan kembali lebih kuat dibandingkan sebelumnya,” papar Sharaf.
Sedangkan di Kuwait, beberapa kelompok pemuda berencana menggelar unjuk rasa menuntut Perdana Menteri (PM) mundur. Demonstrasi dilarang di Kuwait jika digelar tanpa ijin. Kelompok pemuda Kafi dan al-Soor al-Khames akan mengajukan tantangan pada pemerintah dan mereka tidak meminta ijin untuk menggelar protes.
Kuwait merupakan eksportir minyak terbesar keempat di dunia dan merupakan tempat di mana anggota parlemennya paling vokal di wilayah Teluk. Namun kuwait tidak mengijinkan partai politik. Parlemen terbentuk dari individu-individu yang membentuk kubu-kubu tertentu. (syarifudin)