TOKYO- Perdana Menteri (PM) Jepang Naoto Kan memerintahkan pembongkaran pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) Fukushima Daiichi. Kan tampaknya sangat trauma dengan bencana nuklir terburuk di dunia sejak Chernobyl pada 1986 yang melanda Negeri Matahari Terbit.
Hampir tiga pekan sejak gempa bumi dan tsunami 11 Maret, krisis di PLTN masih tidak terselesaikan, bahkan cenderung memburuk. Sejumlah ledakan, kebakaran, dan kebocoran radiasi yang terus terjadi kian memperburuk keadaan.
“Kan mengatakan pada Pemimpin Partai Komunis Jepang Kazuo Shii bahwa seluruh PLTN Fukushima Daiichi harus dinonaktifkan,” tulis kantor berita Kyodo, kemarin.
Shii menyatakan, “Kan juga mengatakan bahwa dia akan mengkaji lagi rencana pembangunan sedikitnya 14 reaktor nuklir pada 2030 akibat krisis yang terjadi sekarang.”
Berdasarkan rencana energi Jepang yang disetujui pada Juni 2010, pemerintah menjadikan energi nuklir sebagai sumber energi inti dalam jangka menengah dan jangka panjang. Pemerintah juga berencana membangun 14 atau lebih reaktor nuklir pada 2030, sembilan diantaranya selesai pada 2020.
Pejabat Jepang sebelumnya mengatakan, PLTN Fukushima Daiichi akan dipensiunkan jika krisis nuklir mereda. Operator dan pemilik PLTN Fukushima Daiichi (No. 1) Tokyo Electric Power (TEPCO) mengatakan, reaktor 1 hingga 4 akan dinonaktifkan. Tapi chairman TEPCO Tsunehisa Katsumata mengatakan, reaktor 5 dan 6 yang masih stabil, dapat dipertahankan.
Pengelola PLTN diperkirakan menghadapi besarkan tagihan kompensasi dari publik yang marah dengan cara TEPCO mengatasi krisis. Presiden TEPCO tidak muncul ke publik sejak 13 Maret dan perusahaan itu menyatakan presiden TEPCO masuk rumah sakit akibat tekanan darah tinggi.
Muncul juga spekulasi bahwa TEPCO akan dinasionalisasi. TEPCO mengaku memiliki dana USD24 miliar dalam bentuk pinjaman bank, tapi jumalh tersebut tidak cukup untuk tetap mengoperasikan perusahaan karena kemungkinan krisis keuangan.
Sedangkan J-Power kemarin mengatakan sudah menghentikan sementara aktivitas konstruksi di PLTN Ohma, Jepang bagian utara, sejak 12 Maret, sehari setelah gempa bumi 9 skala richter menerjang negara itu.
Penghentian itu karena terganggunya suplai listrik di lokasi konstruksi dan sulitnya pengiriman bahan material konstruksi. “Penerusan konstruksi belum ditetapkan,” kata Presiden J-Power Masayoshi Kitamura, seperti dirilis kantor berita AFP.
Meski terjadi penghentian, J-Power tetap pada rencana awal untuk memulai operasi komersial PLTN dengan kapasitas 1.383 megawatt itu pada November 2014. “Kami telah menerima dua atau tiga kargo batubara dari Tokyo Electric dan Tohoku Electric Power karena mereka tidak dapat membongkar muatan di tujuan awal mereka, karena pembangkit listriknya terkena gempa bumi dan tsunami,” tutur Kitamura.
Sementara itu, Jepang menyatakan tidak berencana memperluas zona larangan di sekitar PLTN Fukushima Daiichi. Pernyataan itu muncul beberapa jam setelah Badan Energi Atom Internasional (IAEA) mengungkapkan kekhawatiran atas masalah tersebut.
Jepang didesak untuk memperluas zona larangan dalam radius 20 kilometer di sekitar PLTN Fukushima Daiichi. Apalagi IAEA mengatakan, radiasi di desa Litate yang berjarak 40 kilometer dari PLTN Fukushima Daiichi telah menjapai level evakuasi. IAEA mendukung seruan Greenpeace yang menyarankan anak-anak dan wanita hamil agar segera meninggalkan lokasi dekat Fukushima.
“Perkiraan awal menunjukkan, satu kriteria IAEA untuk evakuasi telah terlampaui di desa Litate,” papar kepala keamanan dan keselamatan nuklir IAEA Denis Flory di Vienna. “IAEA telah menyarankan Jepang untuk berhati-hati menghadapi situasi, dan IAEA mengindikasikan perkiraan itu.”
“Di Litate, level radiasi nuklir mencapai dua megabecquerel per meter persegi, rasio dua kali lipat daripada level yang direkomendasikan IAEA untuk evakuasi,” kata kepala Pusat Insiden dan Darurat Elena Buglova.
Namun juru bicara pemerintah Jepang Yukio Edano mengatakan, “Saya pikir belum memerlukan langkah segera untuk itu. Tapi, fakta bahwa level radiasi tinggi di tanah itu ada kemungkinan jika berakumulasi dalam jangka panjang dapat mempengaruhi kesehatan manusia. Selain itu, kami akan terus memonitor level radiasi yang berbahaya dan melakukan aksi jika perlu.” (syarifudin)