AJDABIYA – Pasukan yang masih setia pada Pemimpin Libya Muammar Khadafi kemarin melakukan serangan udara di kota Ajdabiya yang dikuasai pemberontak. Seiring itu, penentang rezim juga menyerukan unjuk rasa terbaru di ibu kota Tripoli.
Pasukan yang masih setia pada Pemimpin Libya Muammar Khadafi membombardir sejumlah wilayah yang dikontrol pemberontak di bagian timur. Serangan itu membuat banjir pengungsi semakin banyak.
“Serangan udara terbaru, pada Jumat (4/3), menargetkan sebuah pangkalan militer di Ajdabiya, sebuah persimpangan jalan strategis, tapi tidak mengakibatkan korban terluka atau kerusakan besar,” papar juru bicara pemberontak Mohammad Abdallah yang menjaga pos penjagaan terakhir di kota Ajdabiya, jalan menuju Brega.
Lokasi tersebut merupakan tempat pertempuran paling sengit antara pemberontak dan pasukan pemerintah pada Rabu (2/3) silam. “Ada serangan bom di luar pangkalan militer dekat Ajdabiya,” ujar Abdallah.
Barak-barak militer di pinggiran Ajdabiya menjadi target serangan pasukan Khadafi sejak pemberontak di timur mulai menggerakkan demonstrasi anti rezim pada 15 Februari untuk menggulingkan Khadafi.
Putra Khadafi, Seif Al-Islam, mengatakan pada Sky News di Inggris bahwa serangan udara itu hanya didesain untuk menakuti pemberontak, bukan untuk mengakibatkan kerusakan besar. Sejumlah pilot menolak mengebom rekan mereka dengan secara sengaja salah menembak.
“Ini pusat minyak dan gas Libya. Semua dari kami, kami makan, kami hidup karena Brega. Tanpa Brega, enam juta orang tidak memiliki masa depan karena kami mengekport semua minyak dari sana,” ungkap Seif Al-Islam.
Saat ini oposisi Libya mengontrol wilayah timur dan barat, termasuk kota Benghazi dan beberapa fasilitas minyak. Khadafi tetap mengontrol ibu kota Tripoli.
Kemampuan Khadafi mempertahankan Tripoli diuji dengan adanya seruan oposisi untuk berunjuk rasa setelah salat Jumat. Seruan itu terungkap dalam beberapa grup di Facebook dan Twitter yang dijalankan warga Libya di luar negeri.
Hingga kemarin, lebih dari 100.000 orang meninggalkan Libya untuk menyelamatkan diri dari kekerasan yang menewaskan sedikitnya 1.000 orang.
Penuntut di Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) di The Hague, menegaskan bahwa Khadafi dan lingkaran dalam pemerintahannya akan menghadapi investigasi atas tuduhan kejahatan terhadap kemanusiaan. “Kami telah mengundang beberapa orang dengan otoritas de facto atau formal, yang memiliki kewenangan atas pasukan keamanan. “Mereka ialah Muammar Khadafi, lingkaran dalamnya, termasuk beberapa putranya,” papar ICC.
Aliansi Khadafi, Presiden Venezuela Hugo Chavez, mengusulkan misi mediasi internasional untuk menyelesaikan krisis Libya. Usulan Chavez langsung ditolak Barat dan pemberontak Libya di wilayah timur. Mereka mengatakan, Khadafi bebas pergi ke Venezuela jika dia ingin.
“Kami memiliki pernyataan sangat jelas. Sekarang sudah terlalu terlambat. Terlalu banyak darah yang tumpah,” tegas Mustafa Gheriani, juru bicara dewan nasional oposisi di Benghazi, pada kantor berita AFP.
Dia menekankan, pemberontak tidak akan pernah bernegosiasi dengan siapa pun di atas darah rakyat Libya. “Satu-satunya cara kita dapat bernegosiasi dengan Chavez jika Khadafi pergi ke Venezuela (untuk harta benda). Lalu kami akan memintanya mendeportasi Khadafi ke Libya untuk diadili oleh pengadilan kami,” tegas Gheriani.
Sementara itu Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama mengatakan, kekerasan mengerikan yang dilakukan Khadafi terhadap rakyatnya sendiri menunjukkan dia sudah kehilangan semua legitimasi. “Bergerak ke depan, kami akan terus mengirim pesan jelas: Kekerasan harus berhenti. Muammar Khadafi kehilangan legitimasi untuk memimpin dan dia harus pergi,” katanya.
Obama menyatakan tidak ingin lemah dalam opsi-opsinya dan mengonfirmasi bahwa zona larangan terbang dalam pertimbangannya. Inggris dan Prancis mendukung ide itu, tapi terjadi perpecahan komunitas internasional, bahkan di Washington.
Sementara itu, semua sanksi Uni Eropa (UE) terhadap Khadafi, keluarganya, dan lingkaran dalamnya, mulai berlaku sejak Kamis (3/3). Ada 26 warga Libya dalam daftar yang menjadi target UE untuk pembekuan aset dan larangan visa, yang disetujui pada Senin (28/2). Sanksi itu juga berlaku untuk istri Khadafi, Safia al-Barassi, serta tujuh putra dan putrinya. (syarifudin)