SANAA- Seorang demonstran Yaman tewas akibat luka tembak, kemarin, setelah diterjang timah panas saat polisi melepas tembakan sepanjang malam ke arah demonstran antirezim di Sanaa.
Demonstran itu tertembak ketika polisi melepas peluru tajam dan gas air mata untuk membubarkan mahasiswa yang berunjuk rasa di depan Universitas Sanaa pada Selasa (8/3). Dia kemudian meninggal akibat lukanya di rumah sakit.
“Tiga demonstran lainnya juga terluka tembak, sedangkan 60 orang lainnya mengalami luka ringan akibat pukulan tongkat polisi atau menghirup gas air mata,” papar pejabat Yaman.
Seorang petugas keamanan menjelaskan, 12 polisi terluka akibat terkena lemparan batu demonstran. Polisi berusaha mencegha demonstran mendirikan tenda di sebuah jalan menuju Lapangan Universitas, tempat demonstran membangun kamp sejak 21 Februari untuk menggulingkan Presiden Yaman Ali Abdullah Saleh.
Sementara di Mesir, sepuluh orang tewas dalam kekerasan yang terjadi antara Kristen dan Muslim di Kairo pada Selasa malam (8/3). Menurut pejabat kementerian kesehatan Mesir, sedikitnya 110 orang terluka dalam kekerasan itu.
Kekerasan itu dipicu oleh unjuk rasa Kristen atas pembakaran sebuah gereja di Helwan, selatan Kairo. Dalam unjuk rasa itu mereka menutup sebuah jalan utama di selatan Kairo. Kekerasan mulai pecah setelah Muslim ingin melintasi jalan yang diblokade demonstran. Ini merupakan kekerasan terburuk sejak tergulingnya rezim Hosni Mubarak.
Sedangkan di Uni Emirat Arab, kaum intelektual mengeluarkan petisi untuk pemilihan umum (pemilu) yang bebas dan demokratis. Petisi itu menunjukkan, sebagian rakyat Emirat ingin memiliki hak lebih besar dalam pemerintahan.
“Petisi ini menyerukan reformasi komprehensif Dewan Nasional Federal (FNC) atau parlemen, termasuk permintaan pemilu yang bebas oleh seluruh rakyat dalam metode hak pilih yang universal,” ungkap pernyataan 60 orang penandatangan petisi, seperti dikutip kantor berita AFP.
Sebanyak 40 anggota FNC menggelar pemilu pertama pada 2006 saat 6.500 warga, kurang dari 1% rakyat Uni Emirat Arab sebanyak 800.000 jiwa, memilih setengah anggota parlemen. Sisa dari anggota parlemen itu ditunjuk oleh rezim.
Sementara di Kuwait, ratusan orang berdemonstrasi pada Selasa malam (8/3) untuk menuntut pergantian Perdana Menteri (PM) dan kebebasan berpolitik. Pengunjuk rasa berkumpul di sebuah tempat parkir yang mereka sebut Lapangan Perubahan. Tempat itu berada di depan sebuah gedung pemerintahan.
Mereka mendesak PM Kuwait Sheikh Nasser al-Mohammad al-Sabah mundur dari jabatannya. Demonstran meneriakkan “Rakyat ingin korupsi pergi” dan “Pergi, pergi Nasser”.
Sedangkan di Irak, unjuk rasa diperkirakan akan semakin besar, tapi mereka tidak bertujuan menggulingkan pemerintahan koalisi. Demonstran hanya menuntut akuntabilitas pejabat dan perbaikan kehidupan. “Rakyat yang berunjuk rasa tidak untuk perubahan rezim, tapi untuk perbaikan layanan, melawan korupsi, demi pemerintahan yang lebih baik dalam merespon kebutuhan mereka,” ujar Michael Corbin, deputi asisten menteri luar negeri Amerika Serikat untuk Irak. (syarifudin)